it's me & friend's

it's me & friend's
at joga

Senin, 02 Juli 2012

Artikel Tentang Fiqh Mu'amalah


ARTIKEL FIQH
Tugas ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas
”Konsentrasi Fiqh”
G:\Tugas\logo STAIN.jpg










Disusun Oleh:
Nafi’ Nur Latifah             : 210609068

Dosen Pengampu:
Amin Wahyudi M. Ei

Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah-Konsentrasi Fiqh
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN PONOROGO
2012



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Transaksi derivasi berkembang pada dasar perdagangan uang dan khususnya pada jual-beli valuta asing yang awalnya dilatar belakangi adanya fluktuatif nilai mata uang. Dalam perkembangan saat ini, transaksi derivasi ternyata banyak juga berkembang di pasar modal. Perdagangan saham di pasar sekunder ini sudah mulai terlihat ketika perdagangan saham sudah meleawati masa penawaran umum di pasar perdana, dan saham-saham tersebut telah tercatat di bursa efek untuk diperdagangkan.
Peranan transaksi derivative untuk melakukan pengelolaan resiko (hedging) pada saat ini merupakan hal yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam rangka pengelolaan risiko keuangan perusahaan secara keseluruhan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa transaksi derivatif ?
2.      Bagaimana Transaksi Derivatif dalam Perspektif Hukum Islam ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian
Pemahaman terhadap pengertian atau sifat transaksi derivative sangat perlu untuk menetapkan perlakuan hukum yang tepat terhadap transaksi derivative.
Beberapa pengertian tentang Transaksi Derivasi :
Transaksi derivasi adalah Suatu transaksi yang merupakan sebuah perjanjian antara dua pihak yang dikenal sebagai counterparties (pihak-pihak yang saling berhubungan). 
Dalam istilah umum, transaksi derivatif adalah sebuah kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya diturunkan dari nilai aset, tingkat referensi, atau indeks.
Transaksi derivative adalah suatu transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrument yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrument, namun tidak termsuk transaksi derivative kredit
Para ahli bidang transaksi derivative ternyata belum mencapai kesepakatan mengenai apa yang dimaksud dengan transaksi derivative itu sendiri. Seorang penulis yaitu Saul S. Cohen menyatakan bahwa sebenarnya tidak terdapat definisi mengenai transaksi derivative yang dapat diterima secara umum. Selanjutnya dikatakan oleh Saul S. Cohen bahwa : “Attempting to define derivatives is very difficult because instruments capable of bearing that level are infinitely proteam, they evolve too rapidly to be encompassed under any preexisting regulatory structure”.
B.     Timbulnya Derivative
Transaksi derivative diawali semenjak berdirinya chase manhattan risk management group yang didirikan pada tahun 1963. Pada saat itu perusahaan tersebut membuat sertifikat yang mengatur tentang para banker di London yang membuat sejenis pinjaman dalam dua mata uang (dual currency), yang salah satu di antaranya dikaitkan dengan harga-harga di masa depan (future)
Selanjutnya, transaksi derivative ini berkembang menjadi derivative dengan jenis dan metode yang komprehensif dalam bentuk kontrak forward, future, option, swaps dan lain-lain. Sementara itu, obyek dari transaksi derivative juga terus berkembang dan beragam, seperti valuta asing, tingkat suku bunga, bunga komoditi, instrument, ekuiti dll. Jika yang diperdagangkan berupa barang komoditi disebut dengan commodity future trading (cft), sementara jika yang diperdagangkan adalah instrument keuangan disebut dengan financial future trading (fft).

C.     Macam-Macam Derivative
Secara teori, transaksi derivative ibarat sebuah mata uang yang memiliki dua sisi. Satu sisi berfungsi sebagai alat lindung atau penjaminan agar suatu usaha dapat produktif dan efisien. Disisi lain, transaksi derivative juga merupakan alat spekulasi yang bertujuan mendapatkan keuntungan dari transaksi itu sendiri. Banyak sekali jenis transaksi derivative yang ada dipasar, dan pada kesempatan ini hanya dikemukakan beberapa jenis transaksi derivative yang utama, yaitu diantaranya :
1.      Future adalah suatu perjanjian untuk menjual membeli suatu jumlah aset tertentu dengan harga tertentu yang ditetapkan sekarang untuk dilaksanakan pada suatu tanggal yang akan datang maturity date.
2.      Forward merupakan suatu sarana sebagai usaha untuk menghindarkan atau mengurangi resiko kerugian-kerugian dalam transaksi valuta asing, seperti untuk pelunasan tagihan-tagihan atau pembayaran dalm valuta yang berbeda.
3.      Option adalah suatu kontrak dua pihak yang memberikan hak bukan kewajiban kepada salah satu pihak apakah membeli call option atau menjual put option atas sejumlah valuta tertentu ditukar dengan sejumlah valuta lainnya dengan nilai tukar yang telah ditentukan dalam kontrak dengan membayar sejumlah premi.
4.      Swap adalah suatu perjanjian di mana masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian saling setuju dan mengikatkan diri untuk melakukan pembayaran secara berkala antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dengan merujuk pada suku bunga yang berbeda interest rate swaps atau dengan nilai mata uang yang berbeda.
D.    Fungsi Dan Tujuan Derivative
Aturan dasar dari investasi adalah pengembalian yang lebih tinggi berhubungan dengan resiko yang lebih tinggi. Fungsi derivative adalah sebagai alat manajemen resiko. Tegasnya derivative dapat membawa nasabah ke resiko lebih rendah atau lebih tinggi, tergantung bagaimana nasabah menggunakannya.
Tujuan dilakukannya suatu transaksi derivative adalah sebagai berikut :
1.      Sebagai model investasi
Dalam hal ini transaksi derivative dapat berfungsi sebagai salah satu model berinvestasi, tetapi pada umumnya investasi jangka pendek (yield enhancement).
2.      Informasi harga
Dalam hal ini transaksi derivative dapat berfungsi untuk sekedar mencari atau member informasi tentang harga barang komoditi tertentu di kemudian hari (price discovery). Sebagai contoh, harga dari suatu barang komoditi di kemudian hari, misal harga emas 6 bulan mendatang, dapat tercemin dari harga emas di pasar berjangka tersebut.
3.      Fungsi spekulatif
Perdagangan derivative sering juga digunakan sebagai salah satu cara berspekulasi bagi mereka yang senang dengan hal-hal yang bersifat untung-untungan atau spekulasi.
4.      Sebagai cara lindungi nilai
Dalam praktek sangat banyak juga dilakukan suatu transaksi derivative dengan tujuan dan motif sebagai salah satu cara untuk menghilangkan resiko dengan jalan lindung nilai (hedging)
Sebagai sarana lindung nilai, maka dapat diartikan bahwa kuantitas hedging mempunyai korelasi positif dengan gejolak moneter. Dalam artian bahwa hedging makin banyak dilakukan ketika situasi moneter bergejolak, di mana pada umumnya juga akan diikuti oleh gejolak nilai mata uang atau tingkat suku bunga, sehingga posisi seseorang peminjam perlu diamankan dengan mengunakan sarana lindung nilai (hedging).
E.     Transaksi Derivative Perbankan Dalam Perspektif Hukum Islam
Transaksi derivative yang meliputi forward, future, opsi, dan swaps merupakan salah satu contoh dari structured product. Sedangkan structured ini bertujuan untuk mendapatkan tambahan income yang dapat mendorong transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah untuk tujuan spekulatif (untung-untungan), yang juga dapat menimbulkan ketidakstabilan nilai rupah.
Dalam surat edaran no 10/42/DPD, Bank Indonesia melarang bank memperdagangkan investasi yang termasuk dalam structure product ini. Mulanya Bank Indonesia dan badan pengawas pasar modal telah membentuk tim yang akan menyelidiki produk-produk spekulatif yang banyak ditawarkan kepada investor awam, dan dipertegas oleh pernyataan Deputi Gubernur senior Bank Indonesia Miranda S. Goeltom. “produk yang kebanyakan tanpa underlying itu hanya bias dipahami pemain-pemain canggih, karena pemain yang tidak canggih akan bingung.
Ajaran islam tidak melarang seseorang untuk melakukan kesepakatan atau perjanjjian dengan siapapun, asalkan mempunyai tujuan yang baik, bersih (terhindar dari riba, maysir dan gharar) dan sanggup memenuhi syarat dan rukun, misalnya rukun dan syarat jual-beli”
Hal ini sesuai dengan Firman Allah “
 3……. ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4.........
Artinya : “…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
Juga dalam Hadist ketika Rasulallah SAW ditanya oeh salah seorang sahabat mengenai pekerjaan apa yang paling baik, beliau menjawab, “usaha tangan manusia sendiri, dan setiap jual beli yang diberkati atau bersih
Transaksi derivatif merupakan transaksi financial dan bukan transaksi yang riil karena tidak ada hubungannya dengan barang secara fisik. Walaupun transaksi tersebut melibatkan penyerahan barang di masa yang akan datang, seperti yang terdapat pada kontrak “futures”, tetapi dalam prakteknya juga menjadi alat spekulatif karena kontrak derivatif yang dibuat pada umumnya diselesaikan sebelum jauh temponya sehingga menggugurkan kewajiban penyerahan barang tersebut.
Jadi, transaksi derivatif yang dilakukan dengan motif spekulasi hukumnya haram. Namun, jika dilakukan untuk tujuan hedging, yaitu untuk menghindari resiko kerugian akibat perubahan kurs, maka hukumnya adalah mubah, karena di dalamnya mengandung masalah bagi kedua belah pihak. Jika dilihat dari sisi jual beli, transaksi hedging dikategorikan pada jual-beli salam (pesanan), karena merupakan transaksi yang berjangka (mempunyai tenggang waktu).
Hal ini sesuai dengan firman Allah :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
F.      Kesimpulan
Transaksi derivatif merupakan produk dari structured product. Adapun yang dimaksud dengan structured product yaitu produk yang dikeluarkan oleh Bank yang merupakan kombinasi suatu aset (kekayaan) dengan derivatif dari mata uang valuta asing terhadap rupiah dengan tujuan mendapatkan pendapatan yang dapat mendorong transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah untuk tujuan spekulatif dan dapat menimbulkan ketidakstabilan nilai rupiah.
Transaksi derivatif pada dasarnya secara tehnikal tidak ada keberatan dari sudut pandang Islam selama transaksi tersebut semata-mata untuk melindungi kemungkinan resiko yang terjadi dan transaksi tersebut benar-benar direalisasikan pada waktu jatuh temponya. Konsep dasar transaksi tersebut sebenarnya sama dengan apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu bahwa siapa yang melaksanakan salaf (forward trading) harus melaksanakannya dengan jumlah, berat dan periode waktu yang tertentu atau spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
-         Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (bandung: citra aditya, 2000)
-         Andrey uzzia sitanggung. Aspek-aspek Hukum Transaksi Derivatif dalam Perbankan, (jakarta: 2002)
-         Al-qur’an, Terjemahan Departemen Agama (1986) Departemen Agama: YPPA, PT. Bumi Restu
-         Rizqullah, 2009. Transaksi Derivatif Apa dan Bagaimana Menurut Islam.www.rizqullah.niriah.com
-         Dian Ediana Rae, Transaksi Derivatif dan Masalah Regulasi Ekonomi di Indonesia, Jakarta, Elex Media Komputindo, 2008
-         Peraturan Bank Indonesia no. 7/31/PBI/2008 Tentang Transaksi Derivatif







BAHAYA TASAYABBUH BI KUFFAR…. !!!!
Tasyabbuh artinya menyerupai, yaitu menyerupai orang-orang kafir. Definisi Tasyabbuh secara istilah adalah penyerupaan diri seorang muslim terhadap orang-orang kafir tanpa mashlahat yang mu’tabar secara syar’i”. (lihat mazhahir at-Tasyabbuh bi Kuffar hlm. 13).
Syaikh Utsaimin berkata: “Standar Tasyabbuh adalah pelakukanya melakukan sesuatu yang merupakan ciri khas yang menyerupainya, menyerupai orang-orang kafir artinya, seorang muslim melakukan sesuatu yang merupakan ciri khas mereka. adapun jika hal tersebut telah berlaku umum di kalanagan kaum muslimin dan hal itu tidak merupakan ciri khas dari orang-orang kafir maka yang demiikan bukan tasyabbuh” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibn Utsaimin: 3/47) 
Dari definisi di atas maka dapat kita ketahui seluk beluknya dan jenis-jenisnya. Adapun hukum tasyabbuh itu sendiri adalah haram dan bahkan bisa membawa kepada bahaya yang besar dalam agama. Nabi bersabda:
وَمَن تَشَبَّهَ بِقَومٍ فَهُوَ مِنهُم
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut” (HR. Abu Dawud: 4/44, Ahmad: 2/50)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Hadits ini keadaan minimalnya mengharuskan haramnya tasyabbuh terhadap orang-orang kafir meskipun zhahirnya mengharuskan kekafiran orang-orang yang menyerupai mereka” (Iqtiqdha’ Shirathil Mustaqim)
Maka, dari hukumnya Tasyabbuh dapat membawa pelakunya pada kekufuran apabila bertasyabuh dalam hal Aqidah dan atau memberi loyalitas kepada mereka. Namun jika tasyabuhnya hanya dalam perkara kecil sebatas maksiat, maka dia hanya bermaksiat tidak jatuh dalam kekafiran. Tapi perlu diingat oleh setiap mukmin bahwa maksiat yang kecil bisa menghantarkan mereka kepada maksiat yang besar, dan maksiat yang besar bisa menghantarkan mereka kepada kekafiran. Na’udzubillah Min Dzalik.
YANG TERMASUK BERTASYABBUH:
1. Merayakan Tahun Baru Masehi.
2. Merayakan tahun baru Hijriyah, karena Nabi, para Sahabat, Tabiin dan tabiut-tabiin tidak pernah merayakan tahun baru Hijriyyah. Justru dengan merayakan tahun baru Hijriyah termasuk tasyabbuh kepada kuffar, karena kita mengadopsi budaya mereka yaitu merayakan tahun baru. sedangkan dalam Islam tidak ada hari raya selain dua hari raya yaitu Idul Adha dan Idul Fitri (lihat Sunnan Abu Dawud: I/295)
3. Merayakan Hari Ulang Tahun.
4. Merayakan Maulid Nabi
5. Meniru sikap dan pola-pikir mereka dalam hal beragama
6. Merayakan Hari valentine. Pada zaman Nabi dahulu tidak ada yang namanya valentine. Timbulnya valentine karena dulu pada
7. Merayakan April Moop setiap tanggal 01 April. April Moop ini hanya berlaku pada setiap tanggal 01 April saja, yang mana pada hari itu dimana kita boleh menipu ataupun berbohong kepada siapa saja, teman, saudara, orang tua dan yang lainnya. Sang targetpun tidak boleh marah atau emosi ketika dirinya telah menjadi sasaran April Moop. April Moop atau the April’s Fool Day berawal dari satu episode sejarah muslim Spanyol di tahun 1487, atau bertepatan dengan 892 H. ketika itu, agama Islam di Spanyol berkembang dengan baik dan tumbuh menjadi negeri yang makmur. Akan tetapi, para kaum kafir secara perlahan menghancurkan umat islam spanyol dengan membunuhnya. Para kaum muslim dibantai habis-habisan oleh para tentara salib di Granada. Dan perang ini bertepatan dengan tanggal 01 April. Bagi umat kristiani, April Moop merupakan hari kemenangan atas dibunuhnya ribuan umat islam spanyol oleh tentara salib lewat cara-cara penipuan.

APAKAH MENGGUNKAN PRODUK ORANG-ORANG KAFIR TERMASUK TASYABBUH ?
Menggunnakan produk mereka dalam bentuk apa pun tidak termasuk tasyabbuh selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Inilah menurut kaidah Fiqih yang berbunyi, “mengenai perkara urusan keduniaan/kebendaan adalah mubah kecuali ada dalil yang mengahramkannya”
Terlebih ada dalil yang menceritakan bahwa Nabi pernah memakai produk orang-orang kafir termasuk menerima hadiah dari orang-orang kafir dan bahkan Nabi pernah menggadaikan baju perangnya ke orang Yahudi. Maka dalam bermu’amalah dengan siapa pun kita diperbolehkan selama tidak ada al-Wala wal Bara’ kepada kaum kuffar. Produk juga bisa di buat siapa saja dan produk tidak termasuk ciri khas kaum kufar dan bukan perayaan atau budaya mereka.


Bottom of Form













TEORI SOLUSI DAN PREFENTIF DALAM PENERAPAN FIQIH MUAMALAH

A.     Latar Belakang
Islam didenfisikan sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan Nabi kita Rasulullah SAW, untuk mengatur segenap urusan manusia, baik berkaitan hubungan dengan Allah (ibadah dan aqidah), hubungan dengan sesama manusia (muamalah, uqabat atau sanksi), dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, untuk itu kami sebagai penulis mengangkat sebuah permasalahan tentang suatu hukum dalam Agama Islam..
Orang-orang dalam menjalani hidupnya haruslah dinilai sebagai orang yang melaksanakan perintah Allah, bukan hanya melihat dari segi status sosial ataupun material saja. Ukuran dalam menjalani hidup sama saja dihadapan Allah SWT yang membedakan hanya kadar ketakwaan kita, bukan berdasarkan dari status sosial atau materil dalam pandangan manusia saja.
Disamping itu, kalau seorang muslim dalam menjalani kehidupannya bisa dan tidak mudah terpengaruh akan segala ritangan yang selalu menghadang dalam setiap langkah hidupnya dan mempunyai filter dalam menyaring segala permasalah yang terjadi dalam konteks hukum Islam.
Permasalahan dalam menetapkan Hukum Islam adalah Sebuah permasalahan yang sering muncul dan perlu adanya sebuah penyelasaian yang mana penyelesaian masalah tersebut tidaklah keluar dari sebuah ketetapan hukum Allah SWT yang sudah tercantum dalam Firmannya yakni Al-qur’an dan Sunnahnya Rasulullah SAW.
Manusia dizaman modern ini diharapkan pada masalah ketetapan Hukum Islam cukup serius. Maka oleh sebab itu khazanah fikiran dan pandangan dalam menyikapi mesti adanya suatu pengembangan pola fikir yang lebih baik.
Dengan demikian, menjadi sangatlah penting kita mempelajari hal-hal yang berkenaan suatu permasalahan yang banyak dialami sekarang ini. Namun penjabaran dalam mempelajari sebuah ketetapan Hukum seseorang tidaklah mudah, oleh sebab itu dituntut untuk tidak berjalan begitu saja dan tidak akan sempurna dalam proses mengetaui ketetapan hukum tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas maka penulis mengajukan beberapa masalah berupa :
1. Apa-apa saja yang menyebabkan timbulnya sebuah ketetapan Dzari’ah?
2. Untuk Apakah ketetapan hukum tersebut digunakan?





PEMBAHASAN DZARI’AH
1.      Pengertian Dzari’ah
Pengertian dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantarnya Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yaitu sadd Adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
Dari segi etimologi,, dzari’ah berarti wasilah (perantaraan). Sedang dzari’ah menurut istilah ahli hukum islam, ialah suatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan dan dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasaranya. Jelasnya, perbuatan yang membawa kearah mubah adalah mubah; perbuatan yang membawa kearah haram adalah haram; dan perbuatan yang menjadi perantara atas pelaksananya perbuatan wajib adalah wajib. Misalnya, zina adalah haram. Maka, terlihat aurat wanita yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan zina.
Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan di sini bahwa sumber ketetapan hukum terbagi atas dua bagian :
1. Maqasid (tujuan atau sasaran) yakni perkara-perkara yang mengandung maslahat atau masafdat.
2. Wasail atau perantara yaitu adalah jalan atau perantara yang membawa kepada maqasid, di mana hukumnya mengikuti hukum perbuatan yang menjadi sasarannya (maqasid), baik yang berupa halal atau yang haram.
Dengan demikian, yang menjadi dasar dieterimanya dzara’i (atau jamka dari dzari’ah) sebagai sumber pokok hukum islam ialah tinjauan terhadap akibat suatu perbuatan. Apabila perbuatan itu mengarah kepada sesuatu yang diperintahkan (mathlub), maka ia menjadi mathlub (diperintahkan). Sebaliknya jikalau perbuatan itu mengarah kepada perbuatan buruk maka ia menjadi terlarang. Hadits-hadits Nabi yang menerangkan tentang dzari’ah cukup banyak, antara lain:
a. Nabi Muhammad SAW melarang orang yang mengutangi, menerima hadiah dari orang yang berhutang agar hal tersebut tidak mengarah kepada perbuatan riba di mana penerimaan hadiah itu dianggap sebagai ganti dari bunga.
b. Nabi muhamad SAW melarang perbuatan menimbun harta.
Beliau bersabda:
لاَتَحْتَكِرُاِلاَّخَاطِىءٌ
Artinya:
“Tidak perbuat menimbun harta kecuali orang yang berbuat salah.”
Sebab penimbunan harta merupakan dzari’ah yang menyebabkan terjadinya kesulitan atau krisis perekonomian masyarakat, selain perbuatan menimbun harta itu sendiri memang haram hukumnya. Oleh karena itu, mengimport barabng kebutuhan pkok adalah wajib pada masa paceklik, karena hal ini merupakan kesulitan dzari’ah yang dapat melepaskan masyarakat dari kesulitan perekonomian.
Nabi bersabda :
اَلْجَالِبُ مَرْزُوْقٌ
Artinya :
“Seorang importer akan mendapatkan kelapangan rizki”
Nabi Muhammad SAW melarang seorang membeli barang yang telah disedekahkan kepada orang lain, walaupun ia mendapatkannya terjual di pasar, demi menghindari dari dzari’ah berupa di tariknya kembali barang yang telah dike;uarkan untuk orang lain karena allah, meskipun dengan iwadl (pengganti). Kadangkala hal itu merupakan dzari’ah untuk memperdaya kaum fakir miskin dengan jalan menyerahkan sedekah hartanya,lalu menarik kembali melalui cara pembelian dengan penipuan yang keji, malahan kadang-kadang hal itu dijadikan persyaratan untuk pemberian sedekah tersebut.
Demikianlah kita dapat banyak hadist/atsar yang menopang dipakainya dzariah sebagai satu sumber pokok (ashl) untuk istinbhat hokum, dimana assalnya adalah melihat kepada akibat dari suatu perbuatan.
Sebagai catatan, bahwa kebanyakan contoh-contoh dzari’ah bersifat menghindarkan kerusakan (daf ulmafsadah). Padahal sebenarnya dzari;ah dipakai juga untuk menarik kemanfaatan (jalbulmanafi). Oleh karena itu Imam Alkarofi berkata : “ketahuilah bahwa dzari’ah sebagaimana halnya ditutup atau ditolak kehadirannya, juga wajib dibuka atau diterima kehadirannya. Ia bisa bersetatus makruh,atau mubah. Sebab dzari’ah pada dasarnya adalah wasilah atau perantaraan. Sebagaimana halnya wasilah perbuatan yang wajib adalah wajib seperti berjalan menuju ke mesjid untuk menunaikan shalat jum’at. Diantara contoh-contoh yang telah kami sebutkan dimuka, ada yang membuka pintu dzari’ah atau (fathu adz-dzari’ah) kepada perbuatan yang diperintahkan (mathlub), yakni tentang import barang-barang sebagaimana disyaratkan oleh hadist diatas
2.      Sadd Adz-Dzari’ah
Pengertian sadd Adz-dzari’ah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah:
اَتَّوَصَّلُ بِمَاهُوَمَصْلَحَةٌ اِلَى مَفْسَدَةٍ
Artinya:
“Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).”
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd Adz-dzari’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
  • Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
  • Kemafsadatan lebih kuat daripada kemaslahatan.
  • Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya.
Perbuatan dilihat dari segi akibatnya terbagi menjadi empat macam diantaranya yaitu tentang bermuamalah :
Ø      Perbuatan yang jika dikerjakan, kemungkinan besar akan mendatangkan mafsadah, akan tetapi tidak sampai ketingkat keyakinan yang pasti. Hal ini biasanya terjadi dlam bentuk jual beli yang biasa dijadikan dzari’ah untuk melakukan perbuatan riba. Contohnya seperti aqad salm yang dimaksud oleh orang yang melakukan transaksi untuk memperoleh riba dengan berkedok transaksi jual beli. Misalnya, ia menyerahkan tsaman (harga)-pada waktu berlangsung transaksi-dibawah harga barang yang sesungguhnya (porsekot) dengan tujuan agar memperoleh riba. Kemungkinan terjadinya kerusakan dalam kasus itu relatif besar, meskipun tidak sampai pada tingkatan persangkaan kuat atau yakin.
Bagian ini termasuk masalah yang dipersilihsikan para ulama; apakah dianggap sebgai dzari’ah yang berakibat kerusakan sehingga tasaruf itu batal, dan perbuatan itu haram karena mengutamakan segi kemafsadatanya; atau tidak dianggap sebagai dzari’ah sehingga akad tersebut tidak batal, dan perbuatan itu tidak haram, karena berpegang pada hukum asal, yaitu izin terhadap perbuatan tersebut. Imam abu hanifah dan imam syafi’I mungunggulkan segi izin, tidak mengharamkan perbuatan itu, dan tidak membatalkan tasarrufbnya. Alasanya, karena kerusakannya bukan yang dominan sehingga tidak diutamakan. Selain itu asa dalam menetapkan hukum haram atau batal ialah jika perbuatan itu merupakan dzariah kepada perbuatan yang batil, fasid, serta haram. Kalaulah tidak disertai dengan adanya persangkaan kuat atau keyakinan yang pasti, aqad atau perbuatan tersebut tidak bias dianggap sebagai dzari’ah yang membatalkan, sehingga perbuatan itu tergolong haram. Tambahan lagi, hokum asal dalam suatu perbuatan adalah izin (boleh) dimana tidak bisa berpindah dari hokum asal ini kecuali dengan alas an adanya kenadharatan. Dan, selama persoalanya tidak sampai pada persangkaan yang kuat. Maka hokum asal berupa izin itu tetap berlaku.
Sedangkan imam malik dan ahmad bin hanbal menetapkan bahwa perbuatan itu adalah haram dan aqadnya batal dalam rangka ikhtiyath. Oleh karena banyaknya kemadharatan di samping hukum asal berupa izin, maka disini terdapat dua hokum asal yang saling berhadapan. Disatu pihak berupa izin yang asli, dan dilain pihak hokum kemadharatan yang terdapat dalam perbuatan atau aqad yang menimpa dan menyakitkan orang lain.
Sebagai landasan hukum, terdapat banyak hadits sahih yang menerangkan tentang diharamkanya beberapa hal yang menurut hukum asalnya adalah ma’dzun fihi (diizinkan/dibolehkan), karena pada umumnya akan mendatangkan berbagai kemafsadatan, meskipun tidak didasarkan pada persangkaan kuat atau keyakinan yang pasti. Contohnya seperti larangan berduaan ditempat yang sunyi dengan perempuan lain, larangan berpergian seorang wanita tanpa dibarengi suami atau mahramnya. Keharaman di sini karena melihat kemafsadatan-kemafsadatan yang ditimbulkanya, walupun tidak ketingkat yakin. Lagi, nabi Muhammad SAW melarang jual beli dan aqad salm yang mengarah pada perbuatan riba.
Imam al-Qarafy menuturkan perbedaan ulama sekaligus jelas pembagian perbuatan di atas, sebagai berkut: “dan suatu bagian dipertentangkan oleh para ulama, apakah ia di anggap aqad salm atau tidak, seperti aqad jual beli dengan tempo. Misalnya, seorang menjual barang seharga sepuluh dirham bila dibayar di akhir bulan (tempo).tapi kalau dibeli(di bayar) sebelum akhir bulan (kontan), harganya Cuma lima dirham.imam malik berpendapat, bahwa ia berarti mengeluarkan harga barang senilai lima dirham, dan di beli seharga lima dirham secara kontan. Namun ia akan menerima sebanyak sepuluh dirham manakala dibayar di akhir bulan.
Transaksi sperti ini merupakan perantara terjadinya peminjaman barang senilai lima dirham, diganti sepuluh dirham dengan tempo, yang secara lahiriah nampak seperti aqad jual beli. Karenanya, imam malik dianggap transaksi yang batil. Imam syafi’i berpendapat lain, transaksi itu masih tergolong aqad jual beli. Ia cukup melihat dari segi lahiriahnya, yang karenanya masih tetap di perbolehkan. Di perbedaan sudut pandang di atas, kedua imam tersebut banyak berbeda pendapat. Bahkan mencapai seribu masalah yang merupakan pendapat khusus imam malik, yang berbeda dari imam syafi’i. Oleh karena itu, diperselisihkan persoalan “melihat wanita”,apakah haram, karena akan mendatangkan perbuatan batil berupa zina, atau tidak haram. Juga, persoalan “keputusan hakim”berdasarkan pengetahuan (bukan berdasarkan bukti-bukti, saksi, sumpah, misalnya) apakah diharamkan, karena akan menjadi perantara terjadinya peradilan yang batil oleh hakim-hakim yang jahat, atau tidak diharamkan. Begitu pula, perselisihan para ulama tentang pertanggung oleh para tukang. Karena mereka bias merekayasa barang yang dikerjakannya hingga berubah dari aslinya, dan tidak dikenali lagi oleh pemiliknya. Mereka bertanggung jawab atas semua resiko demi mencegah dzari’ah berupa mengambil barang, atau tidak wajib mengganti rugi karena pada dasarnya mereka sekedar sebagai buruh yang menerima upah. Sedang hukum asal dalam perburuhan dilakukan atas dasar kepercayaan. Demikian pula kewajiban mengganti rugi bagi pembawa makanan (petugas ekspedisi) agar mereka tidak banyak jumlahnya. Kami menganggapnya saddudz dara’I (menutup perantaraan), sementara imam syafi’I tidak berpendapat demikian. Terlepas dari itu semua, saddudz dara’I sesungguhnya bukanlah sumber pokok spesipik dari imam malik, akan tetapi dipakai oleh sebagian besar ulama, bahakan dasarnya adalah ijma ulama.
3.      Macam-Macam Dzari’ah
Para ulama membagi dzari’ah berdasrkan dua segi ; segi kualitas kemafsadatan, dan segi jenis kemafsadatan. Dzari’ah dari Segi Kualitas Kemafsadatan
Menurut Imam Asy-Syatibi, dari segi ini dzari’ah terbagi dalam empat macam:
  1. Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Misalnya menggali sumur didepan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilk rumah jatuh kedalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja.
  2. Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan, misalnya makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
  3. Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kamafsadatan. Seperti menjual senjata pada musuh, yang dimungkinkan akan digunakan untuk membunuh.
  4. Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan.
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, apakah baiy al-ajal dilarang atau dibolehkan. Menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, jual beli tersebut dibolehkan karena syarat dan rukun dalam jual beli sudah terpenuhi. Selain itu, dugaan (zhann al-mujarrad) tidak bisa dijadikan dasar keharaman jual beli tersebut. Oleh karena itu, bentuk dzari’ah tersebut dibolehkan.
Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih memperhatikan akibat yang ditimbulakan oleh oraktek jual beli tersebut, yakni menimbulkan riba. Dengan demikian, dzari’ah seperti itu tidak dibolehkan.
Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dalam mengemukakan pendapatnya:
a.    Dalam baiy’al-ajal perlu diperhatikan tujuan atau akibatnya, yang membawa kepada perbuatan yang mengandumg unsur riba, meskipun sifatnya sebatas praduga yang berat (galadah azh-zhann), karena syara’ sendiri banyak sekali menentukan hukum berdasarkan praduga yang berat, disamping itu perlu sikap hati-hati (ihtiyat). Dengan demikian, suatu perbuatan yang diduga akan mambawa pada kemafsadatan bisa dijadikan dasar untuk melarang suatu perbuatan, seperti baiy al-ajal, berdasarkan kaidah:
دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّ مٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
Artinya :
Menolak segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”
b.      Dalam kasus bay al-ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, antara sahnya jual beli karena ada syarat dan rukun, dengan menjaga seseorang dari kemadaratan. Dalam hal ini, Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih menguatkan pemeliharaan keselamatan dari kemadaratan, karena bentuk jual beli tersebut jelas-jelas membawa pada kemafsadatan.
c.       Dalam nash banyak sekali larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan, tetapi karena menjaga dari kemafsadatan sehingga dilarang, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa seorang laki-laki tidak boleh bergaul dengan wanita yang bukan muhrim, dan wanita dilarang bepergian lebih dari tiga hari tanpa muhrim atau mahramnya, dan lain-lain.
Perbuatan-perbuatan yang dilarang itu sebenarnya berdasarkan praduga semata-mata, tetapi Rasulullah SAW. Melarangnya, karena perbuatan itu banyak membawa kepada kemafsadatan.

Dzari’ah dari segi Kemafsadatan yang Ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagian dari segi ini diantara lain sebagai berikut:
  • Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman minuman keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan yang mufsadat
  • Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadiakan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik sengaja maupun tidak, seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali kepada suaminya yang pertama (nikah at-tahlil).
Menurut Ibnu Qayim, kedua bagian diatas terbagi lagi dalam:
1. Kemaslahatan suatu perbuatan lebih kuat dari kemafsadatan-nya.
2. Kemafsadatan suatu perbuatan lebih kuat daripada kemanfaatannya;
Kedua pembagian ini pun, menurutnya dibagi lagi menjadi empat bentuk:
  • Sengaja melakukan perbuatan yang mafsadat, seperti minum arak, perbuatan ini dilarang syara’.
  • Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakuakan sutu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak, seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali kepada suaminya yang pertama (nikah at-tahlil).
  • Perbuatan yang hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk melakukan suatu kemafsadatan, tetapi berakibat timbu,nya suatu kemafsadatan, seperti mencaci maki persembahan orang musyrik yang mengakibatkan orang musyrik juga akan mencaci maki Allah.
  • Suatu pekarjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi adakalanya menimbulkan kemafsadatan, seperti melihat wanita yang dipinang. Menurut Ibnu Qayyim, kemaslahatan lebih besar, maka hukumnya dibolehkan sesuai kebutuhan.
4. Kehujjahan Sadd Adz-Dzari’ah
Dikalanga ulama ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai dalil syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’.
Alasan mereka antara lain:
1.      Firman Allah SWT. dalam surat Al-An’am ; 108:
Artinya:
“ Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
(QS. Al-An’Am : 108)
2. Hadits Rasulullah SAW. Antara lain:

اِنَّ مِنْ اَكْبَرِ الْكَبَائِرِ اَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ. قِيْلَ: يَارَسُوْلَ اللهِ , كَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ َوالِدَيْهِ ؟ قَلَ: يَسُبُّ اَبَاالرَّجُلِ فَيَسُبُّ اَبَاهُ, وَيَسُبُّ اُمَّهُ فَيَسُبُّ اُمُّهُ. (رواه البخارى ومسلم وابوداود
Artinya :
Sesunggunya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah SAW. ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat Ibu dan bapaknya. Rasulullah SAW. menjawab, “seseorang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun akan mencaci ibunya.
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima sadd al-dzari’ah dalam masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. Sedangkan Imam Syafi’i menerimanya apabila ada uzur, misalnya seorang musafir atau yang sakit dibolehkan meninggalkan shalat jum’at dan dibolehkan mengganting dengan shalat dzuhur. Namun, shalat dzuhurnya harus dilakukan secara diam-diam, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat Jum’at.
Menurut Husain Hamid, salah seorang guru besar Ushul Fiqih Fakultas Hukum Universitas Kairo, Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menerima sadd al-dzari’ah apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan terjadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhann) akan terjadi.
Dalam memandang dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul:
a. Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu. Contohnya, seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar perempuan itu bisa kembali pada suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.
b. Dari segi dampaknya (akibat), misalnya orang muslim mencaci maka sesembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena itu, perbuatan seperti itu dilarang.
Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah disatu pihak dengan Malikiyah dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sadd al-dzari’ah adalah dalam masalah niat dan akad. Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi, yang dilihat adalah akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah SWT. Menurut mereka, selama tidak ada indikasi-indikasi yang menunjukan niat dari perilaku maka berlaku kaidah:
اَلْمُعْتَبَرُفِ أَوَامِرِ اللهِ اَلْمَعْنىَ وَالْمُعْتَبَرُفِ أُمُوْرِ اْلعِبَادِ اَ ْلاِ سْمُ وَالَّلفْظُ.

Artinya:
“Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya”.

Akan tetapi, jika tujuan orang yang berakad dapat ditangkap dari beberapa indikator yang ada, maka berlaku kaidah:
اَلْعِبْرَةُ فِ اْلعُقُوْدِ بِالْمَقَا صِدِ وَاْلمَعَانِى َلا بِاْلأَ لْفَاظِ وَالْمَبَانِى.
Artinya:
“Yang menjadi patokan dasr dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna, bukan lafazh dan bentuk formal (ucapan).”
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hambaliyah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja. Apabila ada indikator yang menunjukan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’, maka akadnya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbuatannya dianggap fasid (rusak0, namun tidak ada efek hukumnya.
Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.
5. Fath Adz-Dzari’ah
Ibnu Qayyim Aj-Jauziyyah dan Imam Al-Qarafi, mengatakan bahwa dzari’ah itu ada kalanya dilarang yang disebut sadd adz-dzari’ah, dan ada kalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut fath adz-dzari’ah. Misalnya meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib.
Pendapat tersebut oleh Wahbah Al-Juhaili yang menyatakan bahwa perbuatan seperti diatas tidak termasuk kepada dzari’ah, tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib. Sesuai dengan kaidah:
مَ لاَيَتَمُّ الْوَاجِبِ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ.
Artinya :
“Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun wajib” Begitu pula segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka sesuatu itu pun haram, sesuai dengan kaidah :
مَادَلَّ عَلَى حَرَامٍ فَهُوَ حَرَامٌ
Artinya :
“Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun diharamkan.”
Misalnya, seorang laki-laki berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrimnya atau melihat auratnya , karena hal iitu akan membawa perbuatan haram yaitu zina. Menurut jumhur, melihat aurat dan berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim itu disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-hurmah).
Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai dzari’ah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai fath adz-dzari’ah, sedangkan ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, dan sebagian Malikiyah menyebutnya sebagai muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari’ah. Namun, mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.
Dengan demikian jelaslah bahwa dzarai merupakan sumber pokok hukum islam yang dipakai para ulama secara konsensus. Perbedaan pendapat di sini hanya terletak pada penentuan kriterianya. Mereka pada prinsipnya tetap sepakat bahwa dzarai’ah ini merupakan sumber pokok yang diakuai dan berdiri sendiri. Masalah-masalah fiqhiyah yang ketetapan hukum mubah berdasarkan Dzarai di antaranya sebagai berikut :
1. Penyerahan harta tebusan untuk mengambil kaum muslimin yang tertawan. Ditinjau dari hukum asal, perbuatan itu adalah haram. Karena berarti memperkuat musuh, dan mengancam kedudukan kaum muslimin. Penyerahan tebusan itu menjadi jaiz/mubah, karena menyangkut pembebasan sejumlah tawanan perang dari perbudakan sekaligus memperkokoh pasukan muslimin. Contoh ini termasuk dalam konteks dzarai bukan saddu dzarai.
2. Pemberian upeti kaum muslimin kepada Negara musuh untuk menghindarkan kelalimanya, apabila golongan muslimin tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi pemerintahan yang berkuasa dan demi mempertahankan wilayahnya.
3. Pemberian uang suap untuk mencegah terjadinya kedaliman, apabila ia tidak mampu menghadapinya kecuali dengan cara itu. Sebagian besar ulama madzhab hanbali dan maliky memperbolehkanya, jika dimaksudkan untuk mendapatkan sesuatu yang hak yang murni dan pemberian suap merupakan jalan satu-satunya. Namun apabila dapat dilawan oleh orang yang lebih tinggi atau sederajat, maka perbuatan menyuap jelas tidak diperbolehkan. Begitu pula, apabila kebenaran itu dapat ditempuh dengan cara lain, meski harus dengan susah payah.
4. Memberikan harta uang kepada orang-orang yang menghalangi perjalanan haji. Mereka menahan perjalanan jama’ah haji yang hendak menuju ke baitullah al-haram kecuali apabila para jama’ah mau mengalah dengan memberi sejumlah uang. Maka, sebagian ulama madzhab dan hanbali memperbolehkannya.
Meski demikian, pemakaian Dzarai’ tentu saja tidak terlalu dilakuakan secara berlebihan. Sebab kalau diterapkan dengan tanpa batas, terkadang mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan perkara yang sebenarnya mubah, mandub atau bahkan wajib, karena takut terperosok kedalam kedzaliman, seperti keengganan sebagian orang yang adil untuk mengelola harta benda anak yatim atau harta waqaf, karena kwatir timbulnya berbagai tuduhan orang atau takut dirinya terpeleset dalam kedzaliman. Dan, memang berdasarkan observasi diketahui bahwa sebagian orang tidak mau mengerjakan berbagai perbuatan gara-gara takut terjatuh kedalam perbuatan haram. Oleh karena itu, Ibnu Araby di dalam kitabnya “Ahkam al-Qur’an” menetapkan criteria bahwa setiap perbuatan yang diharamkan karena dzariah, harus disertai dengan landasan nashnya, bukan semata-mata karena qiyas atau dzari’ah saja.
Jadi setiap perkara yang ditakutkan dimana allah telah menyerahkan seepenuhnya kepada amanat orang mukallaf, tidak bisa dikatakan sebagai dzari’ah kepada perbuatan terlarang sehingga ia tidak mau mengerjakannya. Sebagaimana allah menjadikan wanita terpercaya dalam hal menyangkut pengakuan akan kesuciannya, meskipun mengandung akibat yang cukup besar sehubungan dengan ucapan itu, dan menyangkut pula soal kehalalan, keharman dan hubungan nasab, walaupun adalah sangat mungkin wanita itu berbuat bohong.berikut ini merupakan hasil kajian ilmiah yang cukup mendalam, yang menetapkan dua prinsip :
1. Dzara’I dipakai apabila mengakibatkan kepada kerusakan yang ditetapokan berdasarkan nash. Begitu pula sebaliknya, apabila mengarah kepada perbuatan halal yang ada nashnya, maka nebutp dzari’ah dalam hal yang pertama dilkaukan karena adanya mafsadah yang diketahui berdasarkan nash; dan membuka dzari’ah dalam hal yang kedua dilakukan karena adanya maskalahat yang diketahui berdasarkan nash pula. Hal ini cukup beralasan, bahwa maslahat atau mafsadah yang diketahui berdasarkan nash dapat dipastikan kebenarannya. Dengan demikian dzara’I tidak lain keculi dimaksudkan untuk melayani nash. Tetapi prinsip ini hanya diperkenalkan oleh ibnu arabi, sedang kitab-kitab ushul madzhab maliki tidak menuturkannya. Dari segi lahiriahnya, nampaknya kitan-kitab tersebut tidak mensyaratkan adanya syarat itu.
2. Perkara-perkara yang berhubungan dengan amanat dalam hukum-hukum syara’ bukan berarti tidak memperhitungkan kemungkinan terjadinya khiyanat pada saat tertentu. Sebab bahaya yang merupaqkan akibat dari menutup dzariah lebih banyak dari pada bahaya yang dihindarkan melalui meninggalkan dzariah. Maka seandainya perwalian terhadap anak yatim ditinggalkan demi menutupi dzari’ah, maka akan berakibat tersia-sianya nasib anak-anak yatim. Dan seandainya kesaksian para saksi ditolak dalam rangka menutup dzari’ah or ang-orang yang berbuat bohong, niscaya hak-hak si kurban akan tersia-siakan. Dan demikianlah seterusnya.
Dengan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang mukallaf ketika hendak mengambil dzari’ah harus memperhatikan dan membandingkan madharat/ bahaya masing-masing, antara memakai atau meninggalkkan dzari’ah. Mana yang lebih unggul, itulah yang diambil dan allah SWT maha mengetahui orang yang berbuat baik dan orang yang berbuat kerusakan

KESIMPULAN
Pengertian dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantarnya Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yaitu sadd Adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
Dari segi etimologi,, dzari’ah berarti wasilah (perantaraan). Sedang dzari’ah menurut istilah ahli hukum islam, ialah suatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan dan dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasaranya. Jelasnya, perbuatan yang membawa kearah mubah adalah mubah; perbuatan yang membawa kearah haram adalah haram; dan perbuatan yang menjadi perantara atas pelaksananya perbuatan wajib adalah wajib. Misalnya, zina adalah haram. Maka, terlihat aurat wanita yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan zina.
Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan di sini bahwa sumber ketetapan hukum terbagi atas dua bagian :
1. Maqasid (tujuan atau sasaran) yakni perkara-perkara yang mengandung maslahat atau masafdat.
2. Wasail atau perantara yaitu adalah jalan atau perantara yang membawa kepada maqasid, di mana hukumnya mengikuti hukum perbuatan yang menjadi sasarannya (maqasid), baik yang berupa halal atau yang haram.


PENDAHULUAN
Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat, mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil Islam secara rinci. Ruang lingkup fiqih adalah pada hukum-hukum Islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan, seperti: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah (boleh). Hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah, dan urusan muamalah dalam kaitannya dengan hubungan horizontal antara manusia dengan manusia lainnya.
Pengertian fiqih berbeda dengan pengertian syariah. Syariah adalah agama atau hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengatur kehidupan manusia. Perbedaan yang paling mendasar antara fiqih dan syariah adalah syariah itu berupa wahyu ilahy, sedangkan fiqih merupakan hasil ijtihad (tafsiran) manusia yang ditafsirkan dari wahyu ilahy, berdasarkan pemahamannya tentang dimensi praktis dalam syariah.
Ruang lingkup fiqih mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti sosial, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut dalam bahasa arab, dengan istilah iqtishady. Iqtishady (ekonomi) adalah suatu cara bagaimana individu-individu dan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai alternatif pemakaian atas alat-alat pemuas kebutuhan yang tersedia, sehingga kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat dipenuhi oleh manusia dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas.
Fiqih ekonomi (fiqih iqtishady) dalam Islam, mencakup tentang aturan-aturan atau rambu-rambu yang diperoleh dari hasil ijtihad manusia yang didasarkan pada wahyu Ilahi (Al-Qur’an dan Al-Hadist), berkenaan dengan bagaimana manusia (individu-individu dan masyarakat) dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dengan membuat pilihan-pilihan dalam menggunakan sumber-sumber daya yang tersedia. Kajian fiqih ekonomi terfokus pada bidang-bidang yang ada dalam ilmu ekonomi, yaitu peraturan mengenai hak milik individu, teori produksi, teori konsumsi, dan berbagai prinsip-prinsip ekonomi yang ada di dalamnya, seperti prinsip keadilan, prinsip ihsan (berbuat kebaikan), prinsip mas’uliyah (pertanggungjawaban), prinsip kifayah (kecukupan), prinsip wasathiyah (keseimbangan), prinsip waqi’iyah (realistis), prinsip kejujuran, dan sebagainya.
SUMBER-SUMBER FIQIH.
 Fiqih Islam secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly berupa Al-Qur’an dan Al-Hadist, dan dalil aqly berupa akal (ijtihad). Penetapan sumber fiqih Islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadist, dan akal (ijtihad) didasarkan pada hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Mua’dz bin Jabal, yaitu: Diriwayatkan oleh Mua’dz bin Jabal, bahwa ketika ia mendapat mandat dari Rasulullah sebagai duta ke Yaman, Rasulullah berkata kepadanya: “Bagaimana anda akan memutuskan suatu hukum apabila diharapkan kepada anda suatu perkara?” Mua’dz menjawab: “Saya akan berpedoman kepada kitab Allah Al-Qur’an”. Nabi bertanya: “Bagaimana kalau anda tidak menemukannya di dalam Al-Qur’an?”. Mua’dz menjawab: “Saya akan berpedoman kepada Sunnah (Al-Hadist)”. Nabi bertanya lagi: “Bagaimana kalau anda tidak menemukannya?”. Dan Muadz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan akal pikiran saya”.
Al-Qur’an adalah kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab yang memiliki tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akherat. Al-Qur’an merupakan referensi utama umat Islam, termasuk di dalamnya masalah hukum dan perundang-undangan. Sebagai sumber hukum yang utama dan pertama, Al-Qur’an mesti dinomorsatukan oleh umat Islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu perkara dalam kehidupan. Ayat-ayat Al-Qur’an mesti didahulukan dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul ke permukaan, karena dari segi lafazh dan maknanya bersifat qath’iyyu al wuruud, yaitu tidak diragukan lagi keasliannya. Umat Islam dilarang mengambil hukum dan jawaban atas problematika dari luar Al-Qur’an selama hukum dan jawaban tersebut dapat ditemukan dalam nash-nash Al-Qur’an.
Al-Hadist adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Al-Hadist merupakan sumber fiqih ke dua setelah Al-Qur’an yang berlaku dan mengikat bagi umat Islam. Hal ini dipertegas Al-Qur’an dalam Surat Al-Hasyr ayat 7, yaitu: “Dan apa yang berasal dari Rasulullah maka ambillah, dan apa yang dilarang maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah pedih siksanya”. Fungsi Al-Hadist dalam sistematika hukum Islam ada tiga, yaitu: 1) Memperkuat apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, 2) Sebagai penjelas Al-Qur’an, yaitu merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang global, membatasi ayat-ayat yang mutlak, dan mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum dalam aplikasinya, 3) Menetapkan hukum yang belum diatur di dalam Al-Qur’an.
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja. Sedangkan Qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus baru yang sudah terdapat dalam nash, dikarenakan oleh persamaan illat (kausa) hukum. Secara teknis penggunaan metode qiyas dimulai dengan identifikasi illat hukum yang terdapat dalam nash, dilanjutkan dengan memastikan apakah illat tersebut juga dimiliki oleh hukum baru yang tidak tersebut dalam nash, baru diambil kesimpulan bahwa kedua kasus itu sama illat, dan dengan kesamaan illat itu disimpulkan kesamaan hukum.
FIQIH MAQASHID SYARIAH.
Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah dalam setiap hukum dari keseluruhan hukumNya. Inti dari tujuan syariah adalah “maslahah” atau manfaat. Keseluruhan produk hukum Islam adalah untuk kemaslahatan dan manfaat bagi manusia. Kemaslahatan manusia ini oleh Imam Ghozali dirinci dalam lima aspek kehidupan yang menjadi aspek pokok tujuan syariat. Kelima aspek tersebut adalah: 1) terpeliharanya agama, 2) terpeliharanya jiwa, 3) terpeliharanya akal, 4) terpeliharanya keturunan, dan 5) terpeliharanya harta atau modal. Dalam memelihara lima aspek pokok tujuan syariat di atas, ada dua metode yang digunakan, yaitu pemeliharaan secara preventif, dan pemeliharaan secara pro aktif. Metode preventif berarti melestarikan dan memelihara lima aspek tersebut dengan melarang perbuatan-perbuatan yang berakibat bagi kerusakan lima aspek tersebut, atau dengan memberikan hukuman berupa sanksi bagi yang melanggar. Contoh dalam pemeliharaan preventif ini adalah: sanksi bagi yang meninggalkan sholat (pemeliharaan agama), larangan membunuh (pemeliharaan jiwa), larangan minum-minuman yang memabukkan (pemeliharaan akal), larangan zina (pemeliharaan keturunan), larangan makan harta orang lain secara bathil (pemeliharaan harta). Sedangkan metode pro aktif dilakukan dengan cara memberikan perintah untuk mengerjakan amalan demi terpeliharanya ke lima aspek pokok tujuan syariat. Contoh dalam pemeliharaan pro aktif ini adalah: perintah sholat (pemeliharaan agama), perintah mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (pemeliharaan jiwa), perintah belajar (pemeliharaan akal), perintah nikah (pemeliharaan keturunan), dan perintah bekerja (pemeliharaan harta).
Tujuan-tujuan syariah dalam ekonomi juga diatur dalam kaitannya dengan maqashid syariah. Sebagaimana aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat, dalam hukum-hukum Islam yang mengatur perekonomian juga memiliki tujuan dan hikmah. Tujuan dan hikmah dalam sistem ekonomi adalah: 1) Perputaran atau sirkulasi (al tadaawul), 2) Jelas atau legal (al wudluuh), 3) Keadilan dalam harta (al adl fil al amwaal), 4) Terpeliharanya harta dengan menghindarkan dari kedzoliman. Dalam tujuan sirkulasi, hendaknya harta atau modal yang dimiliki seseorang mengalami perputaran di tengah masyarakat dengan jalan infaq (belanja), baik infaq konsumsi, produksi, investasi maupun donasi. Tujuan jelas dan legal, ditujukan agar harta atau faktor produksi yang dimiliki oleh seseorang itu terhindar dari peluang adanya pertikaian dan perselisihan, sehingga harta tersebut mesti jelas statusnya dan legal kepemilikannya. Tujuan keadilan dalam harta adalah agar manusia menginfakkan harta tersebut melalui konsumsi, produksi investasi maupun donasi, dan menghindarkan diri dari perbuatan berlebihan atau infaq yang diharamkan oleh agama. Tujuan terpeliharanya harta dengan menghindarkan dari kedzaliman adalah melarang orang lain mengambil atau berbuat dzalim atas harta seseorang yang berakibat terjadinya kerusakan atau hilangnya harta itu.
KAIDAH FIQIH DALAM TRANSAKSI EKONOMI.
Kegiatan ekonomi merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga kaidah fiqih yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga menggunakan kaidah fiqih muamalah. Kaidah fiqih muamalah adalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam. Kaidah fiqih dalam muamalah di atas memberikan arti bahwa dalam kegiatan muamalah yang notabene urusan ke-dunia-an, manusia diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk melakukan apa saja yang bisa memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada Hadist Rasulullah yang berbunyi: “antum a’alamu bi ‘umurid dunyakum” (kamu lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa dalam urusan kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan waktu, Islam memberikan kebebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang bersifat dogmatis. Hal ini memberikan dampak bahwa Islam menjunjung tinggi asas kreativitas pada umatnya untuk bisa mengembangkan potensinya dalam mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan dengan fungsi manusia sebagai khalifatul-Llah fil ‘ardlh (wakil Allah di bumi).
Efek yang timbul dari kaidah fiqih muamalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam. Sedangkan transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh faktor: 1) haram zatnya (objek transaksinya), 2) haram selain zatnya (cara bertransaksi-nya), 3) tidak sah/lengkap akadnya.
Haram Zatnya (Objek Transaksinya).
Dalam Islam, terdapat aturan yang jelas dan tegas mengenai obyek transaksi yang diharamkan, seperti minuman keras, daging babi, dan sebagainya. Oleh karena itu melakukan transaksi yang berhubungan dengan obyek yang diharamkan tersebut juga diharamkan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih: “ma haruma fi’luhu haruma tholabuhu” (setiap apa yang diharamkan atas obyeknya, maka diharamkan pula atas usaha dalam mendapatkannya). Kaidah ini juga memberikan dampak bahwa setiap obyek haram yang didapatkan dengan cara yang baik/halal, maka tidak akan merubah obyek haram tersebut menjadi halal.
Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya).
Ada beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam yang disebabkan oleh cara bertransaksi-nya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah, yaitu: tadlis (penipuan), ikhtikar (rekayasa pasar dalam supply), bai’ najasy (rekayasa pasar dalam demand), taghrir (ketidakpastian), dan riba (tambahan). Tadlis adalah sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan maksud untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan atas informasi tersebut. Hal ini jelas-jelas dilarang dalam Islam, karena melanggar prinsip “an taraddin minkum” (sama-sama ridlo). Informasi yang disembunyikan tersebut bisa berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan.
Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik, produsen tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil keuntungan yang melimpah.
Bai’ Najasy adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Hal ini biasanya terjadi dalam bursa saham (praktek goreng-menggoreng saham). Cara yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli, sehingga akan mendapatkan keuntungan yang besar. Taghrir adalah situasi di mana terjadi incomplete information karena adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Taghrir terjadi bila pihak yang bertransaksi merubah sesuatu yang seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti. Dalam hal ini ada beberapa hal yang bersifat tidak pasti, yaitu kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan.
Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis, baik transaksi hutang piutang maupun jual beli. Riba dalam hutang piutang dimaksudkan untuk meminta kelebihan tertentu atas utang yang dipinjamkan pada saat awal transaksi (riba qard), atau memberikan tambahan pembayaran atas utang yang tidak bisa dikembalikan pada waktu jatuh tempo (riba jahiliyah). Riba dalam jual beli dikenakan atas pertukaran dua barang sejenis dengan timbangan/takaran yang berbeda (riba fadl), atau memberikan tambahan atas barang yang diserahkan kemudian (riba nasiah).
Tidak Sah/Lengkap Akadnya.
Setiap transaksi yang tidak sah/lengkap akadnya, maka transaksi itu dilarang dalam Islam. Ketidaksah/lengkapan suatu transaksi bisa disebabkan oleh: rukun (terdiri dari pelaku, objek, dan ijab kabul) dan syaratnya tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad yang saling berkaitan), atau terjadi two in one (dua akad sekaligus). Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Two in one terjadi bila suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga terjadi ketidakpastian (grarar) akad mana yang harus digunakan.
TEORI AKAD DALAM FIQIH EKONOMI ISLAM.
Akad adalah pertalian ijab (yang diucapkan salah satu pihak yang mengadakan kontrak) dengan qabul (yang diucapkan pihak lain) yang menimbulkan pengaruh pada obyek kontrak. Pertalian ijab dan qabul ini mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yaitu masing-masing pihak dalam akad terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing sesuai dengan kesepakatan. Di dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik, sehingga bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam akad tersebut melakukan wanprestasi (tidak dapat memenuhi kebutuhannya), maka ia/mereka akan menerima sanksi seperti dalam kesepakatan dalam akad. Di dalam fiqih muamalah, konsep akad dibedakan dengan konsep wa’ad (janji). Wa’ad adalah janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, yang mengikat satu pihak saja, yaitu pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik, sehingga pihak yang melakukan wanprestasi (tidak memenuhi janjinya), hanya akan menerima sanksi moral saja tanpa ada sanksi hukum. Akad dalam fiqih muamalah dibagi ke dalam dua bagian, yaitu akad tabarru’ dan akad tijarah.
Akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang tidak mengejar keuntungan (non profit transaction). Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan, sehingga pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada rekan transaksi-nya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad, tanpa mengambil laba dari tabarru’ tersebut. Contoh dari akad tabarru’ adalah qard, wadi’ah, wakalah, rahn, hibah, dan sebagainya. Akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang mengejar keuntungan (profit orientation). Akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersiil. Hal ini didasarkan atas kaidah bisnis bahwa “business is an activity for a profit” (bisnis adalah suatu aktivitas untuk memperoleh keuntungan). Contoh dari akad tijarah adalah akad-akad bagi hasil berupa mudharabah, musyarakah, dan sebagainya, akad-akad jual beli berupa murabahah, salam, dan sebagainya, dan akad-akad sewa menyewa berupa ijarah, ijarah muntahia bi at tamlik, dan sebagainya.
Kaidah fiqih yang berkaitan dengan konsep akad antara tabarru’ dan tijarah ada dua, yaitu: 1). Akad tabarru’ tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah, dan 2). Akad tijarah boleh dirubah menjadi akad tabarru’. Akad tabarru’ tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah memberi arti bahwa dalam setiap transaksi yang asalnya bermaksud untuk tidak mendapatkan keuntungan, kemudian setelah terjadinya akad ternyata pihak yang terkait di dalamnya mengharapkan keuntungan dari transaksi tersebut, maka transaksi itu dilarang. Hal ini didasarkan atas kaidah prinsip: “kullu qardhin jarra manfa’ah fahuwa riba” (setiap qard yang mengambil manfaat adalah riba). Menggabungkan tabarru’ dengan manfa’ah adalah kedzaliman karena melakukan suatu akad berlainan dengan definisi akadnya, sehingga transaksi tersebut akan menimbulkan adanya riba nasi’ah. Hal ini juga melanggar prinsip “la tadzlimuna wa la tudzlamun” (jangan mendzolimi dan jangan sampai didzolimi).
Akad tijarah boleh dirubah menjadi akad tabarru’ memberi arti bahwa dalam setiap transaksi yang asalnya bertujuan mendapatkan keuntungan, kemudian setelah terjadinya akad pihak yang terkait di dalamnya meringankan/memudahkan pihak yang lain dengan menjadikan akad tersebut menjadi akad tabarru’ (tanpa ada tambahan keuntungan), maka transaksi itu dibolehkan, bahkan dalam situasi tertentu hal itu dianjurkan. Misalnya, terjadi suatu akad jual beli antara si A dan si B, di mana si A menjual barang X kepada si B dengan harga Rp. Y secara tangguh (dibayar pada suatu waktu yang ditentukan). Setelah terjadinya akad, pada saat jatuh tempo (maturity time) ternyata si B tidak dapat membayar hutang karena mengalami kesulitan ekonomi. Maka dalam kaidah fiqih, si A dibolehkan atau bahkan dianjurkan memberikan keringanan/kemudahan bagi si B untuk memberikan waktu tambahan dalam pembayaran hutangnya, atau kalau keadaan si A memang benar-benar tidak dapat membayar, si B diharapkan untuk memberikan keringanan berupa pembebasan hutang tersebut.
WaLlahu a’lam bis shawab



PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang bersifat comprehensive dan universal. Comprehensive berarti syariat Islam merangkum seluruh aspek kehidupan baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah), dan universal yang bermakna dapat diterapkan pada setiap waktu dan tempat sampai hari akhir. Ajaran-ajarannya yang bersifat comprehensive juga mencakup sektor ekonomi yang di dalamnya diberikan aturan-aturan dalam melakukan transaksi ekonomi.
Dalam ekonomi terdapat tiga aspek utama, yaitu: konsumsi, simpanan dan investasi. Islam mengajarkan pola konsumsi yang moderat dan tidak berlebihan sebagaimana di dalam Al-Qur’an terdapat larangan terhadap perbuatan konsumsi yang tabdzir dan mubadzir. Aturan Al-Qur’an mengenai konsumsi ini secara ekonomi dapat diartikan untuk mendorong terpupuknya surplus konsumsi agar dialokasikan ke simpanan, untuk dihimpun yang kemudian dipergunakan dalam berinvestasi, baik dalam sektor perdagangan (trade), produksi (manufacture), maupun jasa (service). Kegiatan investasi dalam sistem ekonomi global, umumnya berkaitan dengan adanya pasar modal maupun pasar uang. Sistem pasar modal, yang mencakup berbagai transaksi dan instrumen investasi di dalamnya, dalam Islam tidak ada ketentuan yang bersifat eksplisit, tetapi aturan mengenai prinsip-prinsip yang bersifat umum diatur dalam Islam secara luas dalam kaitannya dengan kegiatan muamalah.
Prinsip tersebut diantaranya adalah larangan diberlakukannya riba (tambahan), gharar (ketidakjelasan), judi (maysir), dan lain sebagainya. Pasar modal adalah sebuah tempat/aktivitas yang mempertemukan antara pihak kelebihan dana (surplus unit) dan pihak kekurangan dana (deficit unit) dengan cara berinvestasi dalam memperjualbelikan sekuritas. Tempat yang digunakan dalam aktifitas investasi tersebut disebut dengan Bursa Efek, yang di Indonesia ada dua bursa, yaitu Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES). Investasi sendiri adalah sebuah komitmen atas sejumlah dana atau sumberdaya lainnya yang dilakukan pada saat ini dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan di masa datang.
Dalam aktivitas investasi, terdapat tiga kemungkinan hasil yang akan diterima oleh investor, yaitu untung dengan memperoleh return, impas (tidak untung maupun rugi), atau rugi dengan menanggung resiko (risk). Hubungan yang terjadi antara return dan risk adalah semakin besar resiko suatu aset, semakin besar pula return yang diharapkan atas aset tersebut (high risk high return). Sehingga, dalam hal ini pada saat awal transaksi investor tidak bisa mengetahui atau memprediksikan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, apakah ia akan untung atau rugi.
Jenis transaksi/kontrak investasi tertentu yang pada suatu saat tertentu investor tidak bisa mengetahui/memprediksikan mengenai apa dan berapa hasil (return/risk) yang akan didapatkan di masa yang akan datang disebut dengan natural uncertainty contract (transaksi yang secara alamiah bersifat tidak pasti). Dan hampir seluruh instrumen yang ada di pasar modal tergolong pada jenis kontrak ini, seperti saham, obligasi, reksadana, dan sebagainya.
Dalam Islam, seseorang tidak boleh menjadikan transaksi yang secara alamiah bersifat tidak pasti (natural uncertainty contract) ini menjadi pasti (natural certainty contract), dengan maksud untuk memastikan berapa tingkat return yang akan diperoleh di masa yang akan datang, sehingga akan menjadi tidak jelas (gharar). Demikian juga dalam kaitannya dengan adanya kondisi ketidakjelasan (unpredictable) yang tinggi ini, investor dilarang untuk melakukan usaha spekulasi, yaitu melakukan kegiatan jual beli sekuritas dengan maksud hanya untuk mencari keuntungan sesaat yang diperoleh dari selisih antara harga jual dan harga beli sekuritas (capital gain) utamanya pada saat terjadinya fluktuasi harga yang tajam.
Salah satu instrumen di pasar modal yang menggunakan mekanisme penetapan return di awal, baik berupa penetapan rate of return maupun nominalnya adalah instrumen futures (atau transaksi future contract). Instrumen ini banyak diminati oleh investor karena ditujukan untuk berspekulasi pada saat ini dengan maksud untuk memperoleh return yang sebesar-besarnya di masa yang akan datang, utamanya pada saat terjadi fluktuasi harga sekuritas yang tajam.
Melihat kondisi di atas, dan berusaha untuk menganalisisnya dengan menggunakan perspektif Islam, tulisan ini bertujuan untuk melihat bagaimana pandangan Islam mengenai instrumen futures (atau transaksi future contract) yang dipraktekkan di pasar modal tersebut, apakah instrumen futures diperbolehkan dalam aturan Islam atau tidak diperbolehkan.
INSTRUMEN FUTURES DALAM PASAR MODAL
Perkembangan dunia investasi akhir-akhir ini baik di tingkat nasional maupun global berkembang dengan sangat pesat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya jumlah uang yang diinvestasikan di pasar modal, kemudian semakin banyaknya jumlah investor yang berinvestasi, dan juga ditunjukkan oleh semakin banyaknya alternatif-alternatif instrumen investasi yang bisa dijadikan pilihan bagi investor. Selain berinvestasi dengan cara memiliki secara langsung sekuritas yang diperdagangkan di pasar modal, investor juga dapat berinvestasi dengan cara membeli derivasi/turunan dari sekuritas tersebut. Sekuritas yang secara keseluruhan maupun sebagian nilainya merupakan turunan dari sekuritas lain disebut dengan sekuritas derivatif. Jenis sekuritas derivatif yang telah banyak dikenal dan diperdagangkan oleh masyarakat adalah futures.
Futures adalah kesepakatan kontrak tertulis antara dua pihak (pembeli dan penjual) untuk melakukan dan menerima penyerahan sejumlah aset/komoditi dalam jumlah, harga dan batas waktu tertentu. Instrumen futures biasanya dikenal juga dengan istilah transaksi future contract. Future contract adalah kontrak untuk membeli sesuatu aset di masa depan dengan harga yang ditetapkan dan diperdagangkan di bursa dengan sifat terstandar. Dalam kontrak futures ada beberapa terminologi penting yang perlu diperhatikan antara lain: 1) Sesuatu (komoditi/aset) yang disetujui kedua pihak untuk dipertukarkan, yang disebut dengan underlying asset, 2) Tanggal yang ditetapkan untuk melakukan transaksi disebut dengan settlement date atau delivery date, 3) Harga yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang berkepentingan untuk melakukan transaksi, yang disebut dengan future price, 4) Pihak yang menyetujui kontrak untuk membeli aset yang menjadi patokan di kemudian hari yang disebut dengan pemilik (owner), 5) Pihak yang menyetujui kontrak untuk menjual aset patokan tersebut di kemudian hari yang disebut dengan penjual (seller) kontrak futures.
Motivasi utama investor melakukan investasi dalam bentuk futures, adalah: 1) sebagai sarana untuk melakukan lindung nilai (hedging) terhadap resiko perubahan harga di masa depan, dan 2) sebagai ajang melakukan spekulasi (speculation) untuk memperoleh keuntungan. Di mana, hedging adalah sebuah usaha untuk memperkecil kemungkinan keraguan yang terjadi dalam kegiatan investasi yang akan dilakukannya, sehingga dalam penggunaan futures nantinya akan mengurangi resiko atas perubahan harga di masa yang akan datang.
Instrumen futures sebagai ajang spekulasi adalah untuk memperoleh keuntungan dari perubahan harga yang terjadi. Para spekulan secara sukarela menanamkan modalnya dalam futures yang beresiko untuk memperoleh keuntungan secara cepat dengan membeli pada saat harga rendah dan menjual dengan harga tinggi. Jadi, tujuan yang ingin dicapai oleh spekulan hanyalah untuk mengejar return dari pergerakan harga yang fluktuatif (capital gain), tanpa melakukan transaksi pada perdagangan komoditi atau aset yang menjadi underlying pada futures secara fisik.
PRINSIP SYARIAH SEBAGAI DASAR TEORITIS.
Dasar teoritis yang digunakan dalam menganalisis instrumen futures dalam Islam adalah adanya larangan dilakukannya setiap transaksi yang mengandung unsur taghrir dan spekulasi. Dua hal ini merupakan dasar teoritis utama (disamping beberapa dasar lainnya) yang menjadikan dilarangnya instrumen futures (atau transaksi future contract) sebagai instrumen derivatif di pasar modal. Taghrir adalah situasi di mana terjadi incomplete information karena adanya uncertainty to both parties (ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertansaksi). Taghrir terjadi bila seseorang tidak bisa mengetahui atau memprediksikan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Seperti halnya dalam melakukan investasi, maka taghrir terjadi bila investor tidak bisa mengetahui atau memprediksikan apakah ia akan memperoleh keuntungan (return) atau kerugian/resiko (risk). Transaksi taghrir dalam Islam dilarang karena mendekati perjudian (maysir). Perjudian termasuk jalan memperoleh harta dengan cara tidak benar (bathil) dan sangat ditentang dalam Al-Qur’an, yaitu: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
Usaha spekulatif adalah bentuk usaha yang pada hakikatnya merupakan gejala untuk membeli sesuatu barang (komoditi) dengan harga yang murah pada suatu waktu dan menjual barang yang sama dengan harga yang mahal pada waktu yang lain. Seseorang yang melakukan kegiatan spekulatif dalam perdagangan biasanya berharap kepada terjadinya fluktuasi harga yang tinggi di pasar. Apabila harga masa depan (future price) diharapkan lebih tinggi daripada harga sekarang, maka para pembeli spekulatif membeli suatu komoditi dengan maksud menjualnya dengan harga yang lebih tinggi di kemudian hari. Demikian juga sebaliknya apabila harga masa depan (future price) diharapkan lebih rendah dari harga sekarang, para spekulan akan menjualnya sekarang untuk menghidarkan penjualan pada harga yang lebih rendah nantinya.  Islam melarang praktek spekulasi ini, seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Hadist bahwa Nabi SAW berkata: “Barang siapa menumpuk persediaan gandum di masa kekurangan (dengan maksud memperoleh keuntungan kelak), ia berdosa besar.
INSTRUMEN FUTURES DALAM PERPEKTIF ISLAM.
Sampai saat ini belum terdapat konsensus di antara para ulama maupun fuqaha tentang penggunaan instrumen-instrumen derivatif terutama futures. Kalaupun instrumen tersebut diperbolehkan, tentunya hanya didasarkan pada kebutuhan manajemen resiko, yaitu untuk hedging, untuk menutup resiko dari fluktuasi harga dan bukan untuk tujuan spekulasi. Tetapi secara umum para ulama dan fuqaha tidak memperbolehkan transaksi futures, ini dapat dilihat karena bentuk transaksi yang ada dalam futures masih banyak hal yang bertentangan dengan aturan Islam. Transaksi futures dilarang karena disebabkan adanya unsur taghrir dan usaha spekulasi. Ini dilihat sesuai dengan contoh kasus berikut: Seseorang menjual valuta asing berupa US$ 1 kepada orang lain dengan Rp. 10.000 saat ini. Transaksi dilakukan saat ini tetapi pembayaran (penyerahan uang) dilakukan di masa yang telah ditentukan di masa yang akan datang dengan tujuan melindungi dirinya dari kerugian akibat fluktuasi harga. Jika kemudian pada tanggal jatuh tempo, harga US$ 1 menjadi Rp. 10.500, maka penjual akan mengalami kerugian sebesar Rp. 500 dan pembeli akan untung sebesar nominal tersebut. Sebaliknya jika harga US$ 1 menjadi Rp. 9.500, maka pembeli yang akan mengalami kerugian sebesar Rp. 500 dan penjual akan untung sebesar nominal tersebut.
Yang menarik dan patut mendapatkan sorotan dari transaksi semacam ini adalah ketika satu pihak mendapatkan gain (keuntungan), maka pihak yang lain akan mengalami kerugian. Sehingga transaksi ini akan menjadi zero sum trading atau win lose trading, yaitu satu pihak akan menang (mendapat keuntungan) dan pihak lainnya akan kalah (menderita kerugian). Hal ini akan menjadikan sebuah kondisi di mana proses transaksi di antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli) menjadi tidak sehat, karena terjadi nuansa permusuhan, yaitu satu pihak merupakan lawan dari pihak lainnya, artinya satu pihak akan mendapatkan keuntungan jika pihak lainnya mendapatkan kerugian. Usaha untuk saling memusuhi di antara dua pihak inilah yang dilarang dalam Islam karena melanggar prinsip la tadzlimuna wa la tudzlamun (jangan mendzolimi dan jangan sampai didzolimi).
PENUTUP
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa futures sebagai salah satu instrumen dalam berinvestasi di pasar modal, tidak diperbolehkan dalam Islam. Hal ini disebabkan karena futures mengandung unsur taghrir dan usaha spekulasi, yang dilarang dalam Islam. Dalam prakteknya, transaksi futures yang mengandung unsur taghrir dan usaha spekulasi tersebut akan membentuk sebuah transaksi menjadi win lose trading, di mana satu pihak akan mengalami keuntungan (gain) dan pihak lain akan mengalami kerugian (risk). Hal ini melanggar prinsip la tadzlimuna wa la tudzlamun yang telah diatur dalam Islam.


Gadai Dalam Islam
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka. Karena itulah, kita sangat perlu mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, di antaranya tentang interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan perpindahan harta dari satu tangan ke tangan yang lain.
Utang-piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul fenomena ketidakpercayaan di antara manusia, khususnya di zaman kiwari ini. Sehingga. orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya. Realita yang ada tidak dapat dipungkiri, suburnya usaha-usaha pegadaian, baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai ini. Ironisnya, banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil dalam Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya, terjadi kezaliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.
Dalam rubrik fikih kali ini kita angkat permasalahan gadai (rahn) dalam tinjauan syariat Islam.
Definisi ar-Rahn
Rahn, dalam bahasa Arab, memiliki pengertian “tetap dan kontinyu”. Dalam bahasa Arab dikatakan: المَاءُ الرَّاهِنُ apabila tidak mengalir, dan kata نِعْمَةٌ رَاهِنَةٌ bermakna nikmat yang tidak putus. Ada yang menyatakan, kata “rahn” bermakna “tertahan”, dengan dasar firman Allah,
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas perbuatan yang telah dikerjakannya.” (Qs. Al-Muddatstsir: 38)
Pada ayat tersebut, kata “rahinah” bermakna “tertahan”. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama, karena yang tertahan itu tetap ditempatnya.
Ibnu Faris menyatakan, “Huruf ra`, ha`, dan nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini terbentuk kata ‘ar-rahn’, yaitu sesuatu yang digadaikan.”
Adapun definisi rahn dalam istilah syariat, dijelaskan para ulama dengan ungkapan, “Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.” “Atau harta benda yang dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.”
“Memberikan harta sebagai jaminan utang agar digunakan sebagai pelunasan utang dengan harta atau nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak mampu melunasinya.”  Sedangkan Syekh al-Basaam mendefinisikan ar-rahn sebagai jaminan utang dengan barang yang memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya.
Hukum ar-Rahn
Utang-piutang dengan sistem gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’ kaum muslimin.
Dalil al-Quran adalah firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Baqarah: 283)
Walaupun terdapat pernyataan “dalam perjalanan” namun ayat ini tetap berlaku secara umum, baik ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim (menetap), karena kata “dalam perjalanan” dalam ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasanya memerlukan sistem ini (ar-rahn).
Hal ini pun dipertegas dengan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin Aisyah dalam pernyataan beliau,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603)
Demikian juga, para ulama bersepakat menyatakan tentang disyariatkannya ar-rahn ini dalam keadaan safar (melakukan perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam al-Qurthubi menyatakan, “Tidak ada seorang pun yang melarang ar-rahn pada keadaan tidak safar kecuali Mujahid, ad-Dhahak, dan Daud (az-Zahiri). [8] Demikian juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah menyatakan, “Ar-rahn diperbolehkan dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Ia menyatakan, ‘Ar-rahn itu tidak ada, kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
Akan tetapi, yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan adanya dalil perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari no. 2512). Wallahu A’lam.
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah, al-Hafidz Ibnu Hajar, dan Muhammad al-Amin asy-Syinqithi. Setelah jelas tentang pensyariatan ar-rahn dalam keadaan safar (perjalanan), maka bagaimanakah hokum ar-rahn pada keadaan yang berbeda? Apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim, tidak wajib pada keseluruhannya, atau wajib dalam keadaan safar saja? Dalam hal ini, para ulama berselisih dalam dua pendapat.
Pendapat pertama, tidak wajib, baik dalam perjalanan atau keadaan mukim. Inilah pendapat Mazhab empat imam (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah). Ibnu Qudamah berkata, “Penyerahan ar-rahn (barang gadai) itu tidak wajib. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas utang sehingga tidak wajib untuk diberikan, seperti dhiman (jaminan pertanggungjawaban).”
Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan ar-rahn dalam keadaan mukim di atas yang tidak menunjukkan adanya perintah, sehingga menunjukkan tidak wajibnya penyerahan ar-rahn (barang gadai). Demikian juga, karena ar-rahn adalah jaminan utang, sehingga tidak wajib untuk diserahkan, seperti dhiman (jaminan pertanggungjawaban) dan kitabah (penulisan perjanjian utang). Selain itu, karena rahn ada ketika penulisan perjanjian utang sulit untuk dilakukan. Bila penulisan perjanjian utang tidak wajib untuk dilakukan, maka demikian juga dengan penggantinya (yaitu ar-rahn).
Pendapat kedua, wajib dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
Mereka menyatakan bahwa kalimat “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang))” adalah berita yang bermakna perintah.
Juga dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Semua syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah, maka dia batil walaupun ada seratus syarat.” (Hr. Al-Bukhari)
Mereka menyatakan, “Pensyaratan ar-rahn dalam keadaan safar terdapat dalam al-Quran dan merupakan perkara yang diperintahkan, sehingga wajib untuk mengamalkannya. Serta tidak ada pensyaratan bahwa ar-rahn hanya dalam keadaan mukim, sehingga dia tertolak.” Pendapat ini dibantah dengan argumentasi bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud sebagai bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya).” (Qs. Al-Baqarah: 283)
Demikian juga, hukum asal dalam transaksi muamalah adalah boleh (mubah) hingga ada larangannya, dan di dalam permasalahan ini tidak ada larangannya.” Yang rajih adalah pendapat pertama. Wallahu a’lam.
Hikmah Pensyariatannya
Keadaan setiap orang berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Namun dalam keadaan itu, dia pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya. Hingga ia mendatangi orang lain untuk membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara berutang, sebagaimana yang disepakati kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia meminjam darinya, dengan ketentuan, dia memberikan barang gadai sebagai jaminan yang disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia melunasi utangnya.
Oleh karena itu, Allah mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (rahin), pemberi utangan (murtahin), dan masyarakat. Untuk rahin, ia mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bisa menyelamatkannya dari krisis, menghilangkan kegundahan di hatinya, serta terkadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut, yang dengan itu menjadi sebab ia menjadi kaya.
Adapun murtahin (pihak pemberi utang), dia akan menjadi tenang serta merasa aman atas haknya, dan dia pun mendapatkan keuntungan syar’i. Bila ia berniat baik, maka dia mendapatkan pahala dari Allah. Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang di antara manusia, karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan, dan melapangkan penguasa.

Rukun ar-Rahn (Gadai)
Mayoritas ulama memandang bahwa rukun ar-rahn (gadai) ada empat, yaitu:
  1. Ar-rahn atau al-marhun (barang yang digadaikan).
  2. Al-marhun bih (utang).
  3. Shighah. [15]
  4. Dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan  murtahin (pemberi utang).
Sedangkan Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi.
Syarat ar-Rahn
Dalam ar-Rahn terdapat persyaratan sebagai berikut:
1. Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur).
2. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun (barang gadai)
a. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.
b. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
c. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
3. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih (utang) adalah utang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
Kapan ar-Rahn (Gadai) Menjadi Keharusan?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ar-rahn, dalam hal apakah menjadi keharusan untuk diserahkan langsung ketika transaksi ataukah setelah serah terima barang gadainya. Terdapat dua pendapat dalam hal ini:
Pendapat pertama, serah terima adalah syarat keharusan terjadinya ar-rahn. Ini pendapat Mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam Mazhab Ahmad bin Hambal, serta Mazhab Zahiriyah. Dasar pendapat ini adalah firman Allah “فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ”. Dalam ayat ini, Allah mensifatkannya dengan “dipegang” (serah terima), dan ar-rahn adalah transaksi penyerta yang butuh kepada penerimaan, sehingga membutuhkan serah-terima (al-qabdh) seperti utang. Juga karena hal itu adalah rahn (gadai) yang belum diserahterimakan, sehingga tidak diharuskan untuk menyerahkannya, sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia.  
Pendapat kedua, ar-rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian, bila pihak yang menggadaikan menolak untuk menyerahkan barang gadainya, maka dia dipaksa untuk menyerahkannya. Ini pendapat Mazhab Malikiyah dan riwayat dalam Mazhab Hambaliyah. Dasar pendapat ini adalah firman Allah “فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ“. Dalam ayat ini, Allah menetapkannya sebagai ar-rahn sebelum dipegang (serahterimakan). Selain itu, ar-rahn juga merupakan akad transaksi yang mengharuskan adanya serah-terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, serah terima hanyalah menjadi penyempurna ar-rahn dan bukan syarat sahnya.
Syekh Abdurrahman bin Hasan menyatakan, “Adapun firman Allah ‘فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ’ adalah sifat  keumumannya, namun kebutuhan menuntut (keharusannya) tidak dengan serah-terima (al-qabdh). Prof. Dr. Abdullah ath-Thayyar menyatakan bahwa yang rajih adalah ar-rahn menjadi harus diserahterimakan melalui akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faidah ar-rahn, berupa pelunasan utang dengan barang gadai tersebut atau dengan nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. Ayat al-Quran pun hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan dalam transaksi yang menuntut adanya jaminan walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan mendapatkannya.
Kapan Serah Terima ar-Rahn Dianggap Sah?
Adakalanya barang gadai itu berupa barang yang tidak dapat dipindahkan, seperti rumah dan tanah, sehingga serah terimanya disepakati dengan cara mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya. Ada kalanya pula, barang gadai itu berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan ditakar pada takaran. Adapun bila barang timbangan maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan ditimbang, dihitung bila barangnya dapat dihitung, serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur.
Namun bila berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, maka terjadi perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya: ada yang berpendapat bahwa serahterimanya adalah dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak oleh yang menggadaikannya dan murtahin dapat mengambilnya.
Hukum-hukum Setelah Serah Terima
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah-terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai, pemanfaatan, serta jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai rusak atau hilang, di antaranya:
Pertama, pemegang barang gadai.
§         Barang gadai tersebut berada ditangan murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (Qs. Al-Baqarah: 283)


Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)
Kedua, pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.
§         Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka murtahin boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut). Tentunya, pemanfaatannya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)
Syekh al-Basam menyatakan, “Menurut kesepakatan ulama, biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.” Demikian juga, pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya, kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas, pen). 
Penulis kitab al-Fiqh al-Muyassar menyatakan, “Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi utang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan utang gadainya dihasilkan dari peminjaman, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan, karena itu adalah peminjaman utang yang menghasilkan manfaat. Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut, tanpa izin dari penggadai, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari, no. 2512).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar