Gadai Dalam Islam
Islam agama yang lengkap
dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi
kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun muamalah (hubungan antar makhluk).
Setiap orang membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk saling menutupi
kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka. Karena itulah, kita sangat
perlu mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, di
antaranya tentang interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan
dengan perpindahan harta dari satu tangan ke tangan yang lain.
Utang-piutang terkadang
tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul fenomena ketidakpercayaan di
antara manusia, khususnya di zaman kiwari ini. Sehingga. orang terdesak untuk
meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya. Realita
yang ada tidak dapat dipungkiri, suburnya usaha-usaha pegadaian, baik dikelola
pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai ini. Ironisnya,
banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil dalam Islam mengenai
hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka,
sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai
akibatnya, terjadi kezaliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.
Dalam rubrik fikih kali
ini kita angkat permasalahan gadai (rahn) dalam tinjauan syariat Islam.
Definisi ar-Rahn
Rahn, dalam bahasa Arab,
memiliki pengertian “tetap dan kontinyu”. Dalam bahasa Arab dikatakan: المَاءُ الرَّاهِنُ apabila tidak mengalir,
dan kata نِعْمَةٌ
رَاهِنَةٌ
bermakna nikmat yang tidak putus. Ada
yang menyatakan, kata “rahn” bermakna “tertahan”, dengan dasar firman Allah,
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا
كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri
bertanggung jawab (tertahan) atas perbuatan yang telah dikerjakannya.” (Qs. Al-Muddatstsir:
38)
Pada ayat tersebut, kata
“rahinah” bermakna “tertahan”. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang
pertama, karena yang tertahan itu tetap ditempatnya.
Ibnu Faris menyatakan,
“Huruf ra`, ha`, dan nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu
yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini terbentuk kata ‘ar-rahn’, yaitu
sesuatu yang digadaikan.”
Adapun definisi rahn
dalam istilah syariat, dijelaskan para ulama dengan ungkapan, “Menjadikan harta
benda sebagai jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut,
ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.” “Atau harta benda yang
dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang tersebut) dari nilai barang
jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.”
“Memberikan harta
sebagai jaminan utang agar digunakan sebagai pelunasan utang dengan harta atau
nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak mampu melunasinya.” Sedangkan Syekh al-Basaam mendefinisikan
ar-rahn sebagai jaminan utang dengan barang yang memungkinkan pelunasan utang
dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut, apabila orang yang
berutang tidak mampu melunasinya.
Hukum ar-Rahn
Utang-piutang dengan
sistem gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar al-Quran,
as-Sunnah, dan ijma’ kaum muslimin.
Dalil al-Quran adalah
firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى
سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم
بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ
وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu berada dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya. Dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya
ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
(Qs. al-Baqarah: 283)
Walaupun terdapat
pernyataan “dalam perjalanan” namun ayat ini tetap berlaku secara umum, baik
ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim (menetap), karena kata “dalam
perjalanan” dalam ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasanya memerlukan
sistem ini (ar-rahn).
Hal ini pun dipertegas
dengan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan
pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin Aisyah dalam pernyataan
beliau,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ
وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan
cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (Hr. Al-Bukhari no.
2513 dan Muslim no. 1603)
Demikian juga, para
ulama bersepakat menyatakan tentang disyariatkannya ar-rahn ini dalam keadaan
safar (melakukan perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan
tidak safar. Imam al-Qurthubi menyatakan, “Tidak ada seorang pun yang melarang
ar-rahn pada keadaan tidak safar kecuali Mujahid, ad-Dhahak, dan Daud
(az-Zahiri). [8] Demikian juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah menyatakan,
“Ar-rahn diperbolehkan dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana
diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan, “Kami
tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Ia
menyatakan, ‘Ar-rahn itu tidak ada, kecuali dalam keadaan safar, karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى
سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu berada dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang).”
Akan tetapi, yang benar
dalam permasalahan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan adanya dalil
perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dan sabda
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ
بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan
boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang
digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas
makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari no. 2512). Wallahu A’lam.
Pendapat ini dirajihkan
oleh Ibnu Qudamah, al-Hafidz Ibnu Hajar, dan Muhammad al-Amin asy-Syinqithi. Setelah
jelas tentang pensyariatan ar-rahn dalam keadaan safar (perjalanan), maka
bagaimanakah hokum ar-rahn pada keadaan yang berbeda? Apakah hukumnya wajib
dalam safar dan mukim, tidak wajib pada keseluruhannya, atau wajib dalam
keadaan safar saja? Dalam hal ini, para ulama berselisih dalam dua pendapat.
Pendapat pertama,
tidak wajib, baik dalam perjalanan atau keadaan mukim. Inilah pendapat Mazhab
empat imam (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah). Ibnu Qudamah
berkata, “Penyerahan ar-rahn (barang gadai) itu tidak wajib. Kami tidak
mengetahui orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas utang
sehingga tidak wajib untuk diberikan, seperti dhiman (jaminan
pertanggungjawaban).”
Dalil pendapat ini
adalah dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan ar-rahn dalam keadaan mukim di
atas yang tidak menunjukkan adanya perintah, sehingga menunjukkan tidak
wajibnya penyerahan ar-rahn (barang gadai). Demikian juga, karena ar-rahn
adalah jaminan utang, sehingga tidak wajib untuk diserahkan, seperti dhiman
(jaminan pertanggungjawaban) dan kitabah (penulisan perjanjian utang). Selain
itu, karena rahn ada ketika penulisan perjanjian utang sulit untuk dilakukan.
Bila penulisan perjanjian utang tidak wajib untuk dilakukan, maka demikian juga
dengan penggantinya (yaitu ar-rahn).
Pendapat kedua,
wajib dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya.
Pendapat ini berdalil dengan firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى
سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu berada dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang).”
Mereka menyatakan bahwa
kalimat “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang))” adalah berita yang bermakna perintah.
Juga dengan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي
كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Semua syarat yang tidak
terdapat dalam kitabullah, maka dia batil walaupun ada seratus syarat.” (Hr. Al-Bukhari)
Mereka menyatakan,
“Pensyaratan ar-rahn dalam keadaan safar terdapat dalam al-Quran dan merupakan
perkara yang diperintahkan, sehingga wajib untuk mengamalkannya. Serta tidak
ada pensyaratan bahwa ar-rahn hanya dalam keadaan mukim, sehingga dia
tertolak.” Pendapat ini dibantah dengan argumentasi bahwa perintah dalam ayat
tersebut bermaksud sebagai bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan
dalam firman Allah setelahnya,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم
بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“Akan tetapi, jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (utangnya).” (Qs. Al-Baqarah: 283)
Demikian juga, hukum
asal dalam transaksi muamalah adalah boleh (mubah) hingga ada larangannya, dan
di dalam permasalahan ini tidak ada larangannya.” Yang rajih adalah pendapat
pertama. Wallahu a’lam.
Hikmah Pensyariatannya
Keadaan setiap orang
berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai
setiap jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat membutuhkan uang
untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Namun dalam keadaan itu,
dia pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan
uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya. Hingga ia mendatangi
orang lain untuk membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara berutang,
sebagaimana yang disepakati kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia meminjam
darinya, dengan ketentuan, dia memberikan barang gadai sebagai jaminan yang
disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia melunasi utangnya.
Oleh karena itu, Allah
mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan
(rahin), pemberi utangan (murtahin), dan masyarakat. Untuk rahin, ia
mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bisa
menyelamatkannya dari krisis, menghilangkan kegundahan di hatinya, serta
terkadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut, yang dengan itu menjadi
sebab ia menjadi kaya.
Adapun murtahin (pihak
pemberi utang), dia akan menjadi tenang serta merasa aman atas haknya, dan dia
pun mendapatkan keuntungan syar’i. Bila ia berniat baik, maka dia mendapatkan
pahala dari Allah. Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu
memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih
sayang di antara manusia, karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan
dan takwa. Terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil
permusuhan, dan melapangkan penguasa.
Rukun ar-Rahn (Gadai)
Mayoritas ulama
memandang bahwa rukun ar-rahn (gadai) ada empat, yaitu:
- Ar-rahn atau
al-marhun (barang yang digadaikan).
- Al-marhun bih
(utang).
- Shighah. [15]
- Dua pihak yang
bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin
(pemberi utang).
Sedangkan Mazhab
Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah,
karena pada hakikatnya dia adalah transaksi.
Syarat ar-Rahn
Dalam ar-Rahn terdapat
persyaratan sebagai berikut:
1. Syarat yang
berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu orang yang
menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas,
yaitu baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur).
2. Syarat yang
berhubungan dengan al-marhun (barang gadai)
a. Barang gadai itu
berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau nilainya
ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.
b. Barang gadai tersebut
adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk
menjadikannya sebagai jaminan gadai.
c. Barang gadai tersebut
harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi
atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
3. Syarat yang
berhubungan dengan al-marhun bih (utang) adalah utang yang wajib atau yang
akhirnya menjadi wajib.
Kapan ar-Rahn (Gadai)
Menjadi Keharusan?
Pendapat pertama,
serah terima adalah syarat keharusan terjadinya ar-rahn. Ini pendapat Mazhab
Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam Mazhab Ahmad bin Hambal, serta Mazhab
Zahiriyah. Dasar pendapat ini adalah firman Allah “فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ”. Dalam ayat ini, Allah
mensifatkannya dengan “dipegang” (serah terima), dan ar-rahn adalah transaksi
penyerta yang butuh kepada penerimaan, sehingga membutuhkan serah-terima
(al-qabdh) seperti utang. Juga karena hal itu adalah rahn (gadai) yang belum
diserahterimakan, sehingga tidak diharuskan untuk menyerahkannya, sebagaimana
bila yang menggadaikannya meninggal dunia.
Pendapat kedua,
ar-rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian, bila pihak
yang menggadaikan menolak untuk menyerahkan barang gadainya, maka dia dipaksa
untuk menyerahkannya. Ini pendapat Mazhab Malikiyah dan riwayat dalam Mazhab
Hambaliyah. Dasar pendapat ini adalah firman Allah “فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ“. Dalam ayat ini, Allah
menetapkannya sebagai ar-rahn sebelum dipegang (serahterimakan). Selain itu,
ar-rahn juga merupakan akad transaksi yang mengharuskan adanya serah-terima
sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti jual beli. Demikian juga menurut
Imam Malik, serah terima hanyalah menjadi penyempurna ar-rahn dan bukan syarat
sahnya.
Syekh Abdurrahman bin
Hasan menyatakan, “Adapun firman Allah ‘فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ’ adalah sifat
keumumannya, namun kebutuhan menuntut (keharusannya) tidak dengan serah-terima
(al-qabdh). Prof. Dr. Abdullah ath-Thayyar menyatakan bahwa yang rajih adalah
ar-rahn menjadi harus diserahterimakan melalui akad transaksi, karena hal itu
dapat merealisasikan faidah ar-rahn, berupa pelunasan utang dengan barang gadai
tersebut atau dengan nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.
Ayat al-Quran pun hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan dalam
transaksi yang menuntut adanya jaminan walaupun belum sempurna serah terimanya
karena ada kemungkinan mendapatkannya.
Kapan Serah Terima
ar-Rahn Dianggap Sah?
Adakalanya barang gadai
itu berupa barang yang tidak dapat dipindahkan, seperti rumah dan tanah,
sehingga serah terimanya disepakati dengan cara mengosongkannya untuk murtahin
tanpa ada penghalangnya. Ada
kalanya pula, barang gadai itu berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila
berupa barang yang ditakar maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan
ditakar pada takaran. Adapun bila barang timbangan maka disepakati bahwa serah
terimanya adalah dengan ditimbang, dihitung bila barangnya dapat dihitung,
serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur.
Namun bila berupa
tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, maka terjadi perselisihan
pendapat tantang cara serah terimanya: ada yang berpendapat bahwa
serahterimanya adalah dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada
yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak oleh yang menggadaikannya dan
murtahin dapat mengambilnya.
Hukum-hukum Setelah
Serah Terima
Pertama, pemegang barang gadai.
§
Barang
gadai tersebut berada ditangan murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut,
sebagaimana firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى
سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ
“Jika kamu berada dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang).”
(Qs. Al-Baqarah: 283)
Juga sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا
كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى
الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Binatang tunggangan boleh
ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan,
dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya
bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban
untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)
Kedua, pembiayaan pemeliharaan
dan pemanfaatan barang gadai.
§
Pada
asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah
milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin tidak boleh mengambil
manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan
atau hewan yang diambil air susunya, maka murtahin boleh menggunakan dan
mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang
tersebut). Tentunya, pemanfaatannya sesuai dengan besarnya nafkah yang
dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan pada sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا
كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى
الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Binatang tunggangan
boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang
digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas
makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)
Syekh al-Basam
menyatakan, “Menurut kesepakatan ulama, biaya pemeliharaan barang gadai
dibebankan kepada pemiliknya.” Demikian juga, pertumbuhan dan keuntungan barang
tersebut juga miliknya, kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan
yang memiliki air susu yang diperas, pen).
Penulis kitab al-Fiqh
al-Muyassar menyatakan, “Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak
pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain tidak boleh
mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi utang)
untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan utang gadainya
dihasilkan dari peminjaman, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan,
karena itu adalah peminjaman utang yang menghasilkan manfaat. Adapun bila
barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka
murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya
nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut, tanpa izin dari
penggadai, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ
بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan
boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang
digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas
makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari, no. 2512).
Ini adalah pendapat
Mazhab Hanabilah. Adapun mayoritas ulama fikih dari Mazhab Hanafiyah,
Malikiyah, dan Syafi’iyah berpandangan tentang tidak bolehnya murtahin
mengambil manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai, dengan
dalil sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ
غَرَمُهُ
“Dia yang berhak
memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya pemeliharaannya.” (Hr. Ad-Daruquthni dan
al-Hakim)
Tidak ada ulama yang
mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya
kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajih -insya Allah- karena dalil hadits
shahih tersebut. Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan
kendaraan gadai dengan pernyataan, “Hadits ini serta kaidah dan ushul syariat
menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki
hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan utang) memiliki hak jaminan
padanya.
Bila barang gadai
tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak ditunggangi dan tidak diperas
susunya, maka tentu akan hilanglah kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga,
berdasarkan tuntutan keadilan, analogi (qiyas), serta untuk kemaslahatan
penggadai, pemegang barang gadai (murtahin), dan hewan tersebut, maka murtahin
mengambil manfaat, yaitu mengendarai dan memeras susunya, serta dan
menggantikan semua manfaat itu dengan cara menafkahi (hewan tersebut). Bila
murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka
dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.”
Ketiga, pertumbuhan barang
gadai.
Pertumbuhan atau
pertambahan barang gadai setelah dia digadaikan, adakalanya bergabung dan
adakalanya terpisah. Bila tergabung, seperti (bertambah) gemuk, maka ia
termasuk dalam barang gadai, dengan kesepakatan ulama. Adapun bila dia
terpisah, maka terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.
Abu hanifah dan Imam
Ahmad, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa pertambahan atau
pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai berada di tangan
murtahin akan diikut sertakan kepada barang gadai tersebut. Sedangkan Imam
Syafi’i dan Ibnu Hazm, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa hal
pertambahan atau pertumbuhan barang gadai tidak ikut serta bersama barang
gadai, namun menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja, Ibnu hazm
berbeda pendapat dengan Syafi’i dalam hal kendaraan dan hewan menyusui, karena
Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam kendaraan dan hewan yang menyusui,
(pertambahan dan pertumbuhannya) menjadi milik orang yang menafkahinya.
Keempat, perpindahan kepemilikan
dan pelunasan utang dengan barang gadai.
Barang gadai tidak
berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa
perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (rahin) dan dia
tidak mampu melunasi utangnya. Pada zaman jahiliyah dahulu, apabila pembayaran
utang telah jatuh tempo, sedangkan orang yang menggadaikan belum melunasi
utangnya, maka pihak yang memberi pinjaman uang akan menyita barang gadai
tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya (si peminjam
uang).
Kemudian, Islam
membatalkan cara yang zalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut
adalah amanat pemiliknya yang berada di tangan pihak yang memberi pinjaman.
Karenanya, pihak pemberi pinjaman tidak boleh memaksa orang yang menggadaikan
barang tersebut untuk menjualnya, kecuali si peminjam tidak mampu melunasi
utangnya tersebut. Bila dia tidak mampu melunasi utangnya saat jatuh tempo,
maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan utang tersebut.
Apabila ternyata hasil penjualan tersebut masih ada sisanya, maka sisa
penjualan tersebut menjadi milik pemilik barang gadai (orang yang menggadaikan
barang tersebut). Bila hasil penjualan barang gadai tersebut belum dapat
melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung
sisa utangnya.
Demikianlah, barang
gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila pembayaran utang
telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin (pemilik
piutang) untuk menyelesaikan permasalahan utangnya, karena itu adalah utang yang
sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti utang tanpa gadai. Bila ia dapat
melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang
gadainya, maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi
seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (rahin)
untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari
murtahin, dan murtahin didahulukan atas pemilik piutang lainnya dalam
pembayaran utang tersebut.
Apabila penggadai
tersebut enggan melunasi utangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah
boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila
dia tidak juga menjualnya, maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan
melunasi utang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat Mazhab
Syafi’iyah dan Hambaliyah.
Malikiyah berpandangan
bahwa pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya, serta
boleh melunasi utang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah
berpandangan bahwa murtahin boleh menagih pelunasan utang kepada penggadai,
serta meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila dia tampak tidak mau
melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya.
Pemerintah hanya boleh memenjarakannya saja, sampai ia menjual barang gadainya,
dalam rangka meniadakan kezaliman. Yang rajih, pemerintah menjual barang
gadainya dan melunasi utangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa
memenjarakan si penggadai, karena tujuannya adalah membayar utang dan itu telah
terealisasikan dengan penjualan barang gadai. Selain itu, juga akan timbul
dampak sosial yang negatif di masyarakat jika si penggadai (yang merupakan
pihak peminjam uang) dipenjarakan.
Apabila barang gadai
tersebut dapat menutupi seluruh utangnya maka selesailah utang tersebut, dan
bila tidak dapat menutupinya maka penggadai tersebut tetap memiliki utang, yang
merupakan selisih antara nilai barang gadainya yang telah dijual dan
nilai utangnya. Dia wajib melunasi sisa utang tersebut.
Demikianlah keindahan
Islam dalam permasalah gadai, tidak seperti realita yang banyak berlaku, yaitu
pemilik piutang menyita barang gadai yang ada padanya, walaupun nilainya lebih
besar dari utang si pemilik barang gadai, bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini
jelas merupakan perbuatan jahiliyah dan sebuah bentuk kezaliman yang harus
dihilangkan.Wallahul Muwaffiq.
Jual
Beli Dengan Sistem Kredit
As-Syaikh Nashirudin Al
Albani
Dalam kitab As-Shahihah
jilid 5, terbitan Maktabah Al Ma’arif Riyadh, hadits no. 2326 tentang “Jual
Beli dengan Kredit”, beliau menyebutkan adanya tiga pendapat di kalangan para
ulama. Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang tidak memperbolehkan menjual
dengan kredit apabila harganya berbeda dengan harga kontan (yaitu lebih mahal,
red). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang
diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah r melarang
transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.
As Syaikh Al Albani
menjelaskan, maksud larangan dalam hadits tersebut adalah larangan adanya dua
harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada
pembeli: Jika kamu membeli dengan kontan maka harganya sekian, dan apabila
kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi).
Hal ini sebagaimana
ditafsirkan oleh Simaak bin Harb dalam As Sunnah (karya Muhammad bin Nashr Al
Marwazi), Ibnu Sirin dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 hal. 137 no. 14630,
Thoowush dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14631, Ats Tsauri dalam Mushonnaf
Abdir Rozaq jilid 8 no. 14632, Al Auza’i sebagaimana disebutkan oleh Al
Khaththaabi dalam Ma’alim As Sunan jilid 5 hal. 99, An Nasa’i, Ibnu Hibban
dalam Shahih Ibni Hibban jilid 7 hal. 225, dan Ibnul Atsir dalam Ghariibul
Hadits.
Demikian pula dalam hadits
yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi,
dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menjual
dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah
dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”
Misalnya seseorang
menjual dengan harga kontan Rp 100.000,00, dan kredit dengan harga Rp
120.000,00. Maka ia harus menjual dengan harga Rp 100.000,00. Jika tidak, maka
ia telah melakukan riba. Atas dasar inilah, jual beli dengan sistem kredit
(yakni ada perbedaan harga kontan dengan cicilan) dilarang, dikarenakan jenis
ini adalah jenis jual beli dengan riba.
As-Syaikh Muqbil bin
Hadi Al Waadi’i
Dalam kitabnya Ijaabatus
Saailin hal. 632 pertanyaan no. 376, beliau menjelaskan bahwa hukum jual beli
seperti tersebut di atas adalah dilarang, karena mengandung unsur riba. Dan
beliau menasehatkan kepada setiap muslim untuk menghindari cara jual beli
seperti ini. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi
Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah r
melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.
Namun beliau menganggap
lemahnya hadits Abu Hurairah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah
dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi
jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau
(jika tidak) riba.”
Hal ini sebagaimana disebutkan
beliau dalam kitabnya Ahaadiitsu Mu’allah Dzoohiruha As Shahihah, hadits
no.369. Dalam perkara jual beli kredit ini, kami nukilkan nasehat As-Syaikh Al
Albani: “Ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa cara jual beli yang seperti
ini yang telah banyak tersebar di kalangan pedagang di masa kita ini, yaitu
jual beli At Taqsiith (kredit), dengan mengambil tambahan harga dibandingkan
dengan harga kontan, adalah cara jual beli yang tidak disyari’atkan. Di samping
mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, di
mana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia, dan kasih
sayang terhadap mereka serta meringankan beban mereka, sebagaimana sabda
Rasulullah r yang diriwayatkan Al Imam Al Bukhari :
“Allah merahmati seorang hamba yang suka memberi kemudahan ketika menjual dan ketika membeli…”
“Allah merahmati seorang hamba yang suka memberi kemudahan ketika menjual dan ketika membeli…”
Dan kalau seandainya
salah satu dari mereka mau bertakwa kepada Allah, menjual dengan cara kredit
dengan harga yang sama sebagaimana harga kontan, maka hal itu lebih menguntungkan
baginya, juga dari sisi keuntungan materi. Karena dengan itu menyebabkan
sukanya orang membeli darinya, dan diberkahinya oleh Allah pada rejekinya,
sebagaimana firman Allah:
… Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang
beriman kepada Allah dan hari Akhir. Barang siapa bertakwa kepada Allah,
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari
arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah,
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan
bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath Thalaq: 2-3)
Demikian nasehat dari
As-Syaikh Al Albani. Sebagai kesimpulan, kami nasehatkan kepada kaum Muslimin,
hendaknya memilih cara kontan jika menghadapi sistem jual beli semacam ini. Wallahu
a’lamu bisshawaab.
Beberapa dekade belakangan
ini, gerakan perusahaan pemasaran berjenjang atau dikenal dengan Multi Level
Marketing (MLM) semakin berkembang pesat di tanah air. Perusahaan MLM adalah
perusahaan yang menerapkan sistem pemasaran modern melalui jaringan distribusi
yang berjenjang, yang dibangun secara permanen dengan memposisikan pelanggan
perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran. Konsep perusahaan ini adalah
penyaluran barang (produk dan jasa tertentu) yang memberi kesempatan kepada
para konsumen untuk turut terlibat sebagai penjual dan memperoleh manfaat dan
keuntungan di dalam garis kemitraannya. Dalam istilah MLM, anggota dapat pula
disebut sebagai distributor atau mitra niaga. Jika mitraniaga mengajak orang
lain untuk menjadi anggota pula sehingga jaringan pelanggan/pasar semakin
besar/luas, itu artinya mitraniaga telah berjasa mengangkat omset perusahaan.
Atas dasar itulah kemudian perusahaan berterimakasih dengan bentuk memberi
sebagian keuntungannya kepada mitraniaga yang berjasa dalam bentuk insentif
berupa bonus, baik bonus bulanan, tahunan ataupun bonus-bonus lainnya.
Konsep MLM pertama
dicetuskan oleh NUTRILITE sebuah perusahaan AS pada tahun 1939. Saat ini MLM di
seluruh dunia telah mencapai jumlah sekitar 10.000 an, di Indonesia jumlah MLM
yang ada mencapai jumlah 1500an. Menurut data di internet, menunjukkan bahwa
setiap hari muncul 10 orang millioner/ jutawan baru karena mereka sukses
menjalankan bisnis MLM. Data menunjukkan bahwa sekitar 50% penduduk di Amerika
Serikat kaya karena mereka sukses dari bisnis MLM, begitu pula di Malaysia . Kini
jumlah MLM di Malaysia telah mencapai sekitar 2000-an dengan jumlah penduduk 20
jutaan. Tahun-tahun berikutnya diduga akan makin banyak perusahaan MLM dari Malaysia dan Negara lain akan masuk ke Indonesia .
Perusahaan MLM syariah adalah
perusahaan yang menerapkan sistem pemasaran modern melalui jaringan distribusi
yang berjenjang, dengan menggunakan konsep syariah, baik dari sistemnya maupun
produk yang dijual. Pada dasarnya MLM syariah merupakan konsep jual beli yang
berkembang dengan berbagai macam variasinya. Perkembangan jual beli dan
variasinya ini tentu saja menuntut kehati-hatian agar tidak bersentuhan dengan
hal-hal yang diharamkan oleh syariah, misalnya riba dan gharar,
baik pada produknya atau pada sistemnya. Menurut Syafei (2008:73) jual beli
dalam bahasa Arab adalah ba’i yang secara etimologi berarti pertukaran sesuatu
dengan sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah ba’i berarti pertukaran
harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus yang diperbolehkan.
Landasannya adalah terdapat pada surat
Al Baqarah ayat 275, Al Baqarah ayat 282 dan An Nisa ayat 29. Pada Al Baqarah
ayat 275 Allah berfirman :
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya”.
Kemudian pada surat Al Baqarah ayat 282
Allah berfirman :
3…………. (#ÿrßÎgô©r&ur #sÎ) óOçF÷èt$t6s? …..Ò ÇËÑËÈ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar